sumber paper: Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Vol 8 No 1 Juni 2012
TINGKAT
PENGETAHUAN MAHASISWA DIII KEBIDANAN
TENTANG FIQIH IBU BERSALIN DAN NIFAS
DI STIKES 'AISYIYAH YOGYAKARTA
Farida Kartini, Putri Rahmasari,
Dwi Ernawati
STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta
E-mail: faridakartini@yahoo.com
Abstract: The aim of this descriptive study is to examine the
level of knowledge in students of Diploma 3-year in Midwifery on the Fiqh of
maternity and postpartum women. Eighty nine third year midwifery students of
Aisyiyah Health Sciences College of Yogyakarta were recruited randomly as
sample. Data analysis data using descriptive statistics showed that the level
of knowledge of students on fiqh of maternity and parturition was in a ‘high
level’ including knowledge about shalat (prayer) was 88.8%, fasting was 62.9%, intercourse was 83.1%.
While the level of students’
knowledge categorized in low level including fiqh of thaharah was 59.6% and
about breastfeeding, neonatal care, placental care, girl’s circumcision and
family planing were 95.5%, 94.4%, 70.8%, 84.3% and 88.8% respectively.
Keywords:
women fiqh, maternity, parturition
Abstrak: Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk
mengevaluasi tingkat pengetahuan mahasiswa D III Kebidanan tentang fiqih pada
ibu bersalin dan nifas. Sampel
penelitian ini adalah 89 mahasiswa D III Kebidanan semester VI STIKES 'Aisyiyah
Yogyakarta yang diambil secara acak. Analisis data menggunakan analisis
univariat menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan mahasiswa mengenai fiqih pada ibu bersalin dan nifas berada dalam
kategori baik yaitu tentang shalat 88,8%, puasa 62,9% dan sanggama 83,1%.
Tingkat pengetahuan berkategori buruk mengenai fiqih tentang bersuci 59,6%,
menyusui 95,5%, kewajiban pada BBL 94,4%, perawatan ari-ari 70,8%, sunat pada
perempuan 84,3% dan KB 88,8%.
Kata kunci:
fiqih wanita, bersalin, nifas
PENDAHULUAN
Di Indonesia pada tahun 2007 jumlah
kematian ibu mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup, sehingga dapat
diperkirakan bahwa ada sekitar 22.800.000 ibu melahirkan (Yussianto, 2011).
Sebagian besar dari jumlah tersebut asumsinya ibu melahirkan adalah beragama
Islam, mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Sekitar 65%
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, sehingga dapat diperkirakan sebagian
besar ibu terpapar dengan asuhan kebidanan yang sebagian besar diberikan pula
oleh seorang bidan (Bari, 2000).
Saat memberikan asuhan kebidanan pada ibu bersalin dan
nifas bidan harus selalu memperhatikan keadaan biologis,
psikologis, sosial (biopsikososial) dan spiritual ibu tersebut dengan kata lain asuhan kebidanan
yang holistik (Kriebs & Gegor, 2010). Keadaan biologis, psikologis dan
sosial ibu dalam masa persalinan dan nifas sudah banyak dibahas dalam literatur
baik berupa buku teks maupun jurnal ilmiah dan juga pada diskusi-diskusi atau
seminar-seminar. Aspek spiritual ibu masih sangat jarang dibahas. Agama apapun,
ibu dalam masa persalinan sangat membutuhkan sentuhan rohani. Ajaran Islam
bahkan telah mengatur semua aspek kehidupan umatnya termasuk bagaimana tuntunan
pelaksanaan ibadah mahdhah pada ibu dalam masa persalinan dan nifas.
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung
ditujukan pada Allah SWT. Ibadah ini meliputi antara lain shalat dan
puasa. Peranan bidan dalam memberikan asuhan kebidanan berkaitan dengan
spiritual pasien adalah dengan
memberikan konseling tuntunan Islam bagi ibu bersalin dan nifas. Hal
tersebut berkaitan dengan tugas bidan sebagai konselor dalam pelayanan
kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana serta kesehatan reproduksi. Tugas
tersebut sesuai dengan peran bidan sebagai seorang pendidik khususnya pendidik
bagi ibu bersalin dan nifas (Menkes RI, 2007).
STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta merupakan salah satu
perguruan tinggi yang mendidik calon bidan di Indonesia. Salah satu misi dari
STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta adalah merealisasikan pendidikan tenaga kebidanan
yang profesional dan berakhlak mulia serta menjadi mubalighot (STIKES
'Aisyiyah Yogyakarta, 2010). Mubalighot yang dimaksud adalah setiap
bidan lulusan STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta diharapkan menjadi penyampai ajaran
Islam di masyarakat sesuai bidang dan profesinya. Dengan demikian diharapkan
lulusan dari Prodi D III Kebidanan dapat dengan baik memberikan asuhan pada ibu
bersalin dan nifas secara holistik. Mengingat pada kenyataannya, di lapangan saat ini jarang sekali bidan
memberikan asuhannya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan spiritual ibu
bersalin dan nifas.
Islam
menganjurkan umatnya untuk menyerukan pada kebajikan dan amar ma'ruf
serta mencegah kemunkaran (PP Muhammadiyah, 2009). Hal tersebut sangat sesuai
sekali dengan peran yang diemban oleh bidan lulusan 'Aisyiyah. Ritual budaya
yang ada di masyarakat terkait dengan persalinan dan nifas sangat bermcam-macam
bahkan menjurus pada situsi kemusyrikan, disinilah peran strategis bidan
sebagai mubalighot. Bidan harus dapat memberikan komunikasi, informasi
dan edukasi pada ibu sesuai dengan kebutuhan pasien yang meliputi
biopsikososial dan spiritual. Oleh karenanya bidan wajib memberikan konseling
secara komprehensif pada ibu. Hal tersebut sesuai dengan perintah tentang
sampaikanlah walau hanya satu ayat. Ayat yang dimaksud bukan
hanya ayat dalam Al-Qur'an saja, tapi segala sesuatu yang dapat membawa
kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Berdasarkan alasan tersebut maka mahasiswa Kebidanan
Diploma III (D III) STIKES 'Aisyiyah
Yogyakarta diberikan mata kuliah Studi Dasar Islam (SDI). Adapun ketentuan yang
ditetapkan oleh Majelis Dikti PP 'Aisyiyah mata kuliah SDI meliputi SDI I-IV.
Masing-masing pokok bahasan akidah, akhlak (SDI I), tafsir dan hadits tematik
yang berkaitan dengan perempuan termasuk kehamilan, persalinan, nifas dan
lainnya (SDI II), fiqih khususnya perempuan (SDI III) dan SDI IV dilakukan
dengan Baitul Arqam Purna (BAP) dan kuliah retorika. Fiqih perempuan merupakan
tuntunan Islam mengenai tata cara ibadah mahdlah maupun mengenai muamalah
bagi perempuan sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang dialaminya. Salah
satu pokok bahasan fiqih perempuan sangat berkaitan erat dengan ibu bersalin
dan nifas.
Tata cara ibadah bagi ibu bersalin dan nifas ini bila
tidak dipahami dengan benar oleh ibu maka dapat menyebabkan ketidaksempurnaan
ibu dalam beribadah. Imbas dari hal tersebut bila ibu menyadarinya
dikhawatirkan ibu akan merasa bersalah dan berdosa sehingga akan terjadi
ketidakseimbangan dari keadaan mental ibu berkaitan dengan status spiritualnya.
Contoh dari fiqih pada ibu bersalin dan nifas meliputi shalat, mandi
besar, puasa, do'a saat akan melahirkan, do'a bagi bayi baru lahir, tuntunan
aqiqoh, menanam ari-ari, menyusui, keluarga berencana (KB), sunat pada bayi perempuan
dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengalaman menguji mahasiswa D III Kebidanan
semester VI (kandidat bidan) STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta dari tahun 2005 sampai
sekarang tahun 2011 dalam memberikan asuhan pada ibu bersalin dan nifas jarang
sekali menyentuh aspek spiritual ibu. Sebagai contoh pengalaman menguji
mahasiswa pada tahun 2010 dari 8 kandidat bidan rata-rata mahasiswa hanya
mengatakan pada ibu: “Jangan lupa nanti kalau sudah selesai nifas agar mandi
bersih dan kalau ibu punya rezeki untuk beraqiqoh”. Tanpa menggali lebih jauh
lagi apakah ibu sudah mengerti tentang hal yang disampaikan. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Arifah dan Kartini tahun 2010 menunjukksn bahwa sekitar 34%
ibu nifas tidak mengerti tentang mandi bersih/besar.
Pada tahun
2011 dari 5 kandidat bidan yang dilakukan evaluasi dalam memberikan asuhan pada
ibu nifas hari 1-2 tidak ada satupun mahasiswa yang memberikan asuhan menyentuh
aspek spiritual. Padahal, mahasiswa tersebut selama perkuliahan sudah dibekali
pokok bahasan fiqih perempuan dalam kaitannya dengan asuhan kebidanan. Melihat
fenomena tersebut, seharusnya mereka juga diwajibkan untuk memberikan asuhan
kebidanan pada ibu yang bersifat holistik sesuai dengan kerakteristik ibu (Estiwidani, Meilani, Widyasih, & Widyastuti., 2008). Adanya kesenjangan tersebut, dapat
disebabkan oleh ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman mahasiswa tentang
bagaimana fiqih ibu bersalin dan nifas. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan mahasiswa D III Kebidanan
STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta tentang fiqih ibu bersalin dan nifas.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa DIII Kebidanan
tentang fiqih pada ibu bersalin dan nifas di STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta.
Manfaat dari penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi mata kuliah
SDI dalam kaitannya dengan materi fiqih maternal (ibu hamil, bersalin dan
nifas). Dengan demikian dapat dijadikan dasar untuk inovasi pembelajaran SDI
dan asuhan kebidanan yang holistik serta komprehensif. Bagi kandidat bidan,
hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan sebagai bahan masukkan dalam materi
pengaderan akhir bagi mahasiswa. Bagi mahasiswa semester IV hasil penelitian
ini diharapkan dapat menjadi masukkan untuk mempertimbangkan topik pembekalan
pada praklinik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif dengan desain penelitian deskriptif. Variabel penelitian
ini adalah variabel tunggal yaitu tingkat pengetahuan mahasiswa D III Kebidanan
tentang fiqih pada ibu bersalin dan ibu nifas. Permasalahan fiqih yang menjadi
topik penelitian ini meliputi shalat, mandi besar, puasa, aqiqoh, mengubur
ari-ari, menyusui, KB, sunat pada bayi perempuan dan sanggama. Populasi
penelitian ini adalah mahasiswa D III Kebidanan STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta
semester VI dengan jumlah sampel sebanyak
89 mahasiswa. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (simple random
sampling). Alat pengumpulan data menggunakan kuisioner yang terdiri dari identitas
responden dan pertanyaan mengenai fiqih ibu bersalin dan nifas sebanyak 33
pertanyaan. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan konsultasi ahli/ pakar tentang pertanyaan yang diajukan kepada responden.
Analisis data menggunakan adalah analisis univariat dengan perhitungan
prosentase. Distribusi frekuensi hasil perhitungan prosentase disajikan dalam
bentuk dummy table.
HASIL DAN PEMBAHASAN
STIKES
'Aisyiyah merupakan salah satu STIKES yang ada di Yogyakarta. STIKES 'Aisyiyah
memiliki 3 program studi (Prodi) yaitu Prodi DIII Kebidanan, Prodi S1
Keperawatan dan Prodi DIV Bidan Pendidik. Pada tahun ajaran 2011/2012 ini
menambah 1 program studi lagi yaitu S1 Fisioterapi. STIKES 'Aisyiyah merupakan
STIKES milik Pimpinan Pusat 'Aisyiyah. 'Aisyiyah merupakan organisasi Islam
amar ma'ruf nahi munkar, oleh karenanya 'Aisyiyah memiliki visi dan misi
tertentu terhadap lulusannya.
Salah satu misi STIKES 'Aisyiyah
adalah lulusannya menjadi mubalighot di bidang
profesinya. Bagi lulusan DIII Kebidanan, mubalighot dimaksud adalah bidan yang
dapat memberikan asuhan kebidanan pada pasien sesuai dengan ajaran Islam. Oleh
karenanya semasa pendidikan harus diberi pembelajaran dengan pokok bahasan
fiqih perempuan khususnya yang berhubungan dengan maternal. Pokok bahasan ini
sudah diberikan pada mata kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan-Ke'aisyiyahan
(AIK) II yang pada tahun ajaran 2011/2012 berubah menjadi AIK III. AIK III ini
membahas tentang ayat-ayat dan hadits-hadits tematik yaitu ayat-ayat dan
hadits-hadits yang berhubungan langsung dengan profesi yang akan digeluti
mahasiswa sesuai dengan jurusannya masing-masing.
Hasil
penelitian pengetahuan responden mengenai fiqih tentang bersuci pada ibu
bersalin dan nifas yang dilakukan didapatkan hasil seperti yang terlihat pada
tabel 1 berikut ini:
Tabel 1.
Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Fiqih Pada Ibu
Bersalin dan Nifas
Tingkat pengetahuan
|
Frekuensi
|
Prosentase
|
Fiqih tentang bersuci:
|
|
|
Baik
|
36
|
40,4
|
Buruk
|
53
|
59,6
|
Fiqih tentang shalat:
|
|
|
Baik
|
79
|
88,8
|
Buruk
|
10
|
11,2
|
Fiqih tentang puasa:
|
|
|
Baik
|
56
|
62,9
|
Buruk
|
33
|
37,1
|
Fiqih tentang menyusui:
|
|
|
Baik
|
4
|
4,5
|
Buruk
|
85
|
95,5
|
Fiqih tentang kewajiban pada bayi baru lahir:
|
|
|
Baik
|
5
|
5,6
|
Buruk
|
84
|
94,4
|
Fiqih tentang perawatan ari-ari:
|
|
|
Baik
|
26
|
29,2
|
Buruk
|
63
|
70,8
|
Fiqih tentang sunat perempuan:
|
|
|
Baik
|
14
|
15,7
|
Buruk
|
75
|
84,3
|
Fiqih tentang keluarga berencana:
|
|
|
Baik
|
10
|
11,2
|
Buruk
|
79
|
88,8
|
Fiqih tentang sanggama:
|
|
|
Baik
|
74
|
83,1
|
Buruk
|
15
|
16,9
|
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Mengenai Fiqih
Tentang Bersuci Pada Ibu Bersalin dan Nifas
Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat
bahwa pengetahuan mahasiswa DIII Kebidanan mengenai fiqih tentang bercusi pada
ibu bersalin dan nifas sebagian besar masih dalam kategori buruk yaitu
59,6%. Bersuci (thaharah)
merupakan suatu cara untuk menyucikan diri dari najis dan hadats yang dapat
menghalangi ibadah seseorang. Bersuci dapat dilakukan dengan menggunakan air
atau tanah atau batu (Jamaluddin, 2010). Bersuci ini wajib dilakukan oleh
setiap muslim untuk mengawali ibadah seperti shalat.
Pengetahuan yang buruk tentang
bersuci ini didapatkan berdasarkan jawaban sebagian besar responden bahwa ibu
nifas wajib bersuci bila sudah 40 hari. Di masa Rasulullah SAW bagi perempuan
yang sedang nifas, Beliau bersabda bahwa: “Perempuan yang sedang nifas tinggal
duduk saja, tidak beribadah selama empat puluh hari (HR. At-Tirmidzi, Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)” (Al-Hafidz, 2007). Sabiq (2008) menerangkan
setelah menyebutkan hadits tersebut At-Tirmidzi mengatakan bahwa: “ Para
sahabat-sahabat Nabi dan Tabi'in serta orang-orang dibelakang mereka telah
berijma (sepakat) bahwa perempuan-perempuan yang sedang nifas menghentikan
shalat mereka selama empat puluh hari, kecuali bila keadaan suci terlihat
sebelum waktu tersebut”. Bila setelah empat puluh hari masih terlihat darah
nifas maka kebanyakan para ulama sepakat ibu sudah wajib shalat.
Penjelasan tersebut jelas mengatakan bahwa darah yang keluar setelah empat puluh
hari dianggap bukan darah nifas lagi sehingga kewajiban shalat sudah harus
dilaksanakan oleh ibu begitu pula bila darah nifas sudah berhenti sebelum empat
puluh hari. Dari jawaban yang diberikan oleh mahasiswa terhadap pertanyaan yang
berhubungan dengan kapan ibu sudah boleh shalat pada ibu nifas sebanyak
11,2% masih menjawab setelah 40 hari. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua
mahasiswa mengetahui bahwa bila ibu sudah bersih dari nifas walaupun belum 40
hari maka ibu sudah wajib bersuci dari nifas dan mengerjakan perintah agama
(ibadah mahdlah).
Pertanyaan kuesioner tentang tata
cara mandi besar sesuai ajaran agama yaitu diawali dengan menyuci kedua tangan,
niat ikhlas karena Allah, menyuci kemaluan dengan tangan kiri setelah itu
mencuci tangan dengan tanah atau penggantinya (sabun), dilanjutkan berwudlu
seperti wudlu untuk shalat. Setelah itu menyiram air ke kepala sambil
mengosok-gosok batok kepala sampai batok kepala basahnya rata (keramas) dapat
dengan sedikit wangi-wangian (sampo). Setelah rata barulah menyiram seluruh
tubuh dimulai dari sisi sebelah kanan. Terakhir basuhlah kaki dahulukan yang
sebelah kanan (Jamaluddin, 2010; PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2009). Dari
tata cara mandi besar sesuai dengan tuntunan Islam ini masih sekitar 59,6% yang
menjawab tidak sesuai dengan tata cara yang telah dituntunkan agama. Penelitian yang dilakukan Arifah dan Kartini
(2010) didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan pada
ibu postpartum dengan perilaku mandi
besar setelah nifas.
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Mengenai Fiqih
Tentang Shalat Pada Ibu Bersalin dan Nifas
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan pada 89 responden mengenai fiqih tentang shalat didapatkan hasil
bahwa sebagian besar mahasiswa (88,8%) memiliki pengetahuan yang baik tentang
hukum shalat pada ibu bersalin dan nifas. Shalat merupakan salah satu kewajiban
yang hukumnya wajib 'ain bagi setiap muslim yang baligh dan berakal sehat.
Shalat adalah suatu bentuk pengabdian hamba pada Allah yang menciptakannya.
Bagi setiap muslim yang baligh wajib melakukan shalat 5 waktu sehari semalam
tanpa boleh meninggalkannya sedikit pun kecuali bagi perempuan yang lagi haid,
nifas dan orang yang lupa ingatan. Firman Allah dalam Al-Qur'an surat
Al-Baqarah ayat 222:
...قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ...
”...haid itu sesuatu yang kotor,
oleh karenanya jauhilah istri pada saat haid dan jangan kamu dekati mereka
sampai mereka suci ....” Darah nifas hukumnya sama seperti darah haid maka
perempuan yang sedang nifas sama larangannya seperti perempuan yang sedang haid,
oleh karenanya mereka tidak wajib melakukan shalat sampai mereka suci.
Ibu nifas dan perempuan yang sedang
haid tidak wajib mengganti shalatnya dilain waktu (Al-Hafidz, 2007). Hadits
riwayat dari Ummu Salamah ra.: “Salah seorang istri Nabi saw. mengalami nifas
selama 40 malam, sedang Nabi tidak menyuruh dia mengganti shalat (yang
tertinggal selama nifas)” (Umar, 1986). Jelaslah bahwa ibu yang sedang bersalin
bila sudah mengeluarkan lendir darah dari kemaluannya dan nifas termasuk dalam
kategori perempuan yang sedang dalam keadaan tidak suci sehingga tidak
berkewajiban menjalankan ibadah mahdlah sampai ia bersih dan bersuci.
Puasa merupakan kewajiban bagi setiap
muslim yang baligh dan berakal sehat. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat
183-184:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴿١٨٣﴾
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ ﴿١٨٤﴾
“Hai orang-orang beriman
diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana juga diwajibkan atas orang-orang
sebelummu agar kamu bertaqwa. Barang siapa diantaramu yang sedang sakit atau
sedang bepergian, maka wajib mengganti puasanya di hari lain, dan wajib bagi
yang berat melaksanakannya membayar fidyah (yaitu) dengan memberi makan seorang
miskin.... ”
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Mengenai Fiqih
Tentang Puasa Pada Ibu Bersalin dan Nifas
Hasil penelitian didapatkan hasil
bahwa 37,1% tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai fiqih tentang puasa dalam
kategori buruk, hal ini dapat dilihat pada tabel 1. Kategori tingkat
pengetahuan buruk pada mahasiswa berkitan dengan fiqih tentang puasa pada ibu
bersalin dan nifas ini berkaitan dengan jawaban
mahasiswa mengenai waktu kapan ibu nifas boleh puasa yang menjawab tidak
sesuai tuntunan sebanyak 11,2% dan selebihnya (62,9%) menjawab sesuai tuntuan.
Cukup tingginya tingkat pengetahuan buruk pada fiqih tentang puasa ini karena
mahasiswa menjawab pertanyaan tentang kewajiban ibu nifas bila tidak puasa.
Sebenarnya jawaban yang diberikan berupa ibu wajib membayar fidyah dan
mengganti puasa atau hanya mengganti
puasa pada waktu lain. Hal tersebut tidak bisa dikatakan salah mengingat hal
itu merupakan keyakinan pribadi dan ada juga ulama yang berpendapat demikian.
Madzhab Hambali, Maliki dan Syafi'i mengatakan bahwa bila
perempuan yang menyusui khawatir akan kesehatan bayinya saja sehingga ia tidak
berpuasa maka ia wajib mengqadla puasa dan membayar fidyah. Mengenai kewajiban
perempuan nifas mengqadla puasa berdasarkan hadits dari Ummul Mu'minin 'Aisyah
ra. pernah menjawab pertanyaan seorang perempuan: “Kenapa perempuan haid itu
wajib mengqadla puasanya sedang shalat tidak? (Umar,1986)”
Namun demikian berdasarkan kajian
yang dilakukan oleh Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa
sebagian besar ulama sepakat bahwa ibu menyusui apabila tidak puasa cukup
membayar fidyah tanpa harus mengqadla puasanya. Hal tersebut berdasarkan hadits
riwayat Ibnu 'Abbas ra. berkata kepada Jariyah yang sedang hamil: “Engkau
termasuk orang yang keberatan berpuasa, maka engkau wajib fidyah dan tidak usah
mengganti puasa.” Diriwayatkan Abu Dawud ra. dari Ibnu 'Abbas: “Ditetapkan bagi
orang yang mengandung dan menyusui untuk berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai
gantinya, memberi makan kepada orang miskin setiap harinya (PP Muhammadiyah
Majlis Tarjih, 2009).”
Berdasarkan paparan dalil-dalil yang
ada jelaslah bahwa apa yang diyakini seseorang mengenai kewajiban bagi ibu
bersalin dan nifas yang tidak berpuasa semuanya boleh saja dan ada dasarnya.
Namun demikian karena konteks dari penelitian ini untuk mengevaluasi materi
dari pembelajaran mata kuliah AIK yang telah diberikan maka yang digunakan adalah
yang merupakan hasil kajian dari Himpunan Keputusan Tarjih (HPT) Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Mengenai Fiqih
Tentang Menyusui Pada Ibu Bersalin dan Nifas
Tabel frekuensi pengetahuan tentang
fiqih ibu bersalin dan nifas memperlihatkan bahwa tingkat pengetahuan mahasiswa
tentang fiqih menyusui hampir semuanya dalam kategori buruk yaitu 95,5%.
Masalah menyusui ini tidak bisa dianggap hal yang ringan. Mengingat sejak tahun
1990-an pemberian ASI secara ekslusif sangat digalakkan. Dalam lamanya waktu
pemberian ASI responden dapat menjawabnya dengan benar yaitu selama 2 tahun
bagi ibu yang ingin menyempurnakan susuannya. Hal tersebut sesuai anjurkan yang
terdapat dalan surat Al-Baqarah ayat 233:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ ۚ ﴿٢٣٣﴾
“Ibu-ibu hendaklah menyusui
anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna
....”
Tingkat pengetahuan
responden/mahasiswa dalam kategori buruk pada fiqih tentang menyusui ini adalah
pada pertanyaan yang menyangkut bayi yang disusui selain oleh ibu kandungnya.
Hampir semua mahasiswa (95,5%) menjawab bahwa ibu susuan kedudukannya sama
dengan ibu kandung. Dalam hal mahrom dan dalam hal menghormati serta menghargai
orang tua memang sama tapi dalam hal yang lain tidak sama sehingga ibu
persusuan tidak bisa disamakan kedudukannya sebagai ibu kandung. Begitu pula
jawaban yang tidak tepat diberikan responden pada pertanyaan kedudukan saudara
kandung dari saudara sesusuan (saudara yang pada saat bersamaan menyusu pada
ibu yang sama). Sebagian besar menjawab saudara kandung dari saudara sesusuan
bukan mahrom. Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ibu yang menyusui dan
saudara sepersusuan termasuk dalam kategori orang yang haram untuk dinikahi. Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 23
menyebutkan:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ ... وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ ...µ﴿٢٣﴾
" Diharamkan atas kamu (menikahi)... juga ibu-ibumu
yang menyusui kamu serta saudara
perempuan sepersusuan...”
Hadits riwayat dari Abdullah
Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. Bersabda: ”Diharamkan dari persusuan apa-apa
yang diharamkan dari nasab (Ahmad Sabiq, 2007)”. Dari keterangan tersebut
jelaslah bagi kita bahwa hukum mahrom keluarga diri ibu susuan sama halnya
dengan keluarga akibat hubungan darah. Hal tersebut dapat disebabkan karena
zat-zat yang terkandung pada ASI ibu susuan yang terbentuk
dari apa-apa yang menyusun tubuh ibu (sel) yang ketika asi diminum bayi ikut
pula membentuk, menumbuhkan dan mengembangkan bayi. Hadits riwayat Abu Dawud
menjelaskan: ”Tidak ada penyusuan kecuali yang membesarkan tulang dan
menumbuhkan daging” (Sayyid sabiq, 2008).
Selain itu
jawaban yang menambah kontribusi tingkat pengetahuan mahasiswa/ responden menjadi buruk adalah menyangkut donor (bank) ASI. Pada bank ASI siapa penyumbang ASI tidak jelas sehingga hal tersebut dapat mengaburkan siapa
ibu susuan apalagi saudara sesusuan. Hal tersebut berdampak pada dapat
terlanggarnya larangan bagi saudara sesusuan. Namun demikian masih banyak
mahasiswa yang menjawab donor ASI yang berasal dari bank ASI hukumnya boleh.
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa
Mengenai Fiqih Tentang Kewajiban Pada Bayi Baru Lahir Pada Ibu Bersalin dan
Nifas
Tabel frekuensi pengetahuan fiqih ibu
bersalin dan nifas juga menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan mahasiswa
mengenai fiqih tentang kewajiban terhadap bayi baru lahir (aqiqoh, mencukur
rambut dan memberikan nama) terbanyak adalah dalam kategori buruk (94,4%). Hal
tersebut dikarenakan jawaban mahasiswa yang belum tepat atas pertanyaan jenis
hewan untuk aqiqoh, waktu aqiqoh dan hukum berat rambut hasil yang dicukur
ditimbang kemudian disodaqohkan seharga emas yang beratnya sama dengan rambut
tersebut.
Hukum aqiqoh adalah sunnah mu'akat
yaitu sunnah yang ditekankan terutama bagi yang mampu melakukannya. Di HPT
(2009) disepakati bahwa aqiqoh untuk bayi laki-laki dengan 2 kambing dan untuk
bayi perempuan 1 kambing, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan
Tirmidzi dengan menshahihkannya. Pelaksanaannya dilakukan pada 7 hari setelah
bayi lahir. Dianjurkan pula untuk mencukur rambut bayi dan memberi nama dengan
nama yang baik keputusan ini diambil berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
5 ahli hadits dan dishahihkan oleh Tirmidzi.. Dari Salman bin Amir ra. berkata
telah bersabda Rasulullah saw: “Bersama tiap-tiap anak ada aqiqoh. (HR Bukhari,
dll)”. Dari Al Hasan bin Samuroh dari Nabi saw. bersabda : “Tiap-tiap anak
(bayi) tergadaikan oleh aqiqohnya. (HR Ibnu Majah dll dengan sanad shahih).
Dari Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. memerintahkan kepada kami agar
melakukan aqiqoh untuk bayi laki-laki dengan dua ekor kambing dan untuk bayi
perempuan seekor kambing” (HR Ibnu Majah dan At Tirmidzi dengan sanad shahih ).
Disunnahkan menyembelihnya pada hari ketujuh dari hari kelahirannya, jika
terlewatkan maka pada hari ke empat belas dan jika terlewatkan juga maka pada
hari kedua puluh satu. Berdasarkan hadis riwayat Baihaqi dengan sanad shahih
sebagaimana diriwayatkan dari Buraidah ra. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda : “ Aqiqoh itu disembelih pada hari
ketujuh atau hari keempat belas atau hari kedua puluh satu (Hadrami, 2007).”
Mengenai mencukur rambut bayi dari
Samurah bin Jundab dia berkata, Rasulullah bersabda: “Semua anak bayi
tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan
(kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i,
Ibnu Majah, Ahmad). Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw pernah ber-‘aqiqah
untuk Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama
dan memerintahkan supaya dihilangkan kotoran dari kepalanya (dicukur)” (HR.
Hakim, dalam AI-Mustadrak). Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan
Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan
bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya” (HR
Ahmad, Thabrani, dan al-Baihaqi). Imam Malik berkata : Pada dzohirnya bahwa keterikatannya
pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada hari
ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau setelahnya Aqiqah itu telah
cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah memudahkan bukan menyulitkan
sebagaimana firman Allah SWT: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu” (QS.Al Baqarah:185).
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa
Mengenai Fiqih Tentang Perawatan Ari-Ari Pada Ibu Bersalin dan Nifas
Tabel frekuensi pengetahuan fiqih ibu
bersalin dan nifas memperlihatkan bahwa terbanyak tingkat pengetahuan mahasiswa
mengenai fiqih perawatan ari-ari adalah buruk yaitu 70,8%. Buruknya tingkat
pengetahuan ini karena mahasiswa sebagian besar menjawab ari-ari harus ditanam
di sebelah kanan atau kiri pintu rumah dan boleh memberikan bahan-bahan tertentu
pada ari-ari untuk dikubur bersama ari-ari guna tujuan tertentu.
Dalam Islam memang tidak ada tuntunan
yang jelas tentang bagaimana penatalaksanaan ari-ari. Namun dilihat dari
maslahat mursalatnya maka mana yang berdampak baik. Ari-ari berupa daging yang
bila dibiarkan saja akan menjadi busuk dan menimbulkan bau yang tidak sedap/bau
busuk. Pada masyarakat ada kepercayaan yang tidak menguburkan ari-ari tapi
hanya digantungkan saja dengan memasukkannya ke dalam kendil terlebih dahulu
dan diberi garam yang banyak sebagai upaya untuk mengurangi baunya. Dari hasil
konsultasi penulis dengan pakar ilmu fiqih hal tersebut tidak mengapa asal
tindakan itu tidak berdampak negatif pada lingkungan.
Demikian pula bila ari-ari akan
dikuburkan, maka kuburlah di tempat yang aman dari binatang buas. Masalah
dimana akan dikuburkan tidaklah menjadi masalah. Budaya di masyarakat ada yang mengharuskan menguburkan ari-ari
bila bayi perempuan maka ari-ari harus dikuburkan di sebelah kiri dari pintu
rumah dan bila bayi laki-laki harus di sebelah kanan pintu rumah. Setelah itu
tempat ari-ari dikubur tersebut diberi lampu selama selapan hari bahkan
ada yang lebih, diberi lubang angin dan diberi sesaji (sesajen). Mereka
percaya bila nanti bayinya pilek maka lubang angin yang ada dapat disogok untuk
menghilangkan sumbatannya. Selain itu ada juga yang menambahkan bumbu dapur
seperti kunyit, laos, dan lainnya ke ari-ari dengan tujuan biar anak tersebut
pintar memasak. Memasukkan jarum jahit dan benang jahit biar anak pintar menjahit
serta memasukan pensil agar anak menjadi anak yang pintar/terpelajar. Hal yang
mengharuskan dan keyakinan yang ada inilah mungkin akan merusak aqidah tanpa
kita sadari inilah yang tidak diperbolehkan dalam Islam.
Al-Qur'an Allah telah menjelaskan
bahwa janganlah kita berbuat yang berlebihan. Dijelaskan pula bahwa bayi lahir
itu dalam keadaan suci dan orang tuanyalah yang akan menjadikan anak tersebut
yahudi, majusi ataupun nasrani. Demikian pula teori tabularasa yang dilontarkan
oleh Frued bahwa anak lahir itu bagai kertas putih orang tuanyalah yang
menuliskannya. Jelaslah bahwa tidak mungkin dengan menguburkan bahan-bahan
tertentu pada ari-ari dapat menyebabkan anak menjadi sesuai dengan yang
diinginkan orang tua bila tanpa adanya usaha membentuk anak tersebut melalui
pendidikan dan pengajaran. Memberikan bahan-bahan tertentu pada ari-ari
merupakan suatu perbuatan yang mubazir atau sia-sia.
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Mengenai Fiqih
Tentang Sunat Perempuan Pada Ibu Bersalin dan Nifas
Tingkat pengetahuan mahasiswa
mengenai fiqih tentang sunat pada perempuan paling banyak berkategori buruk
yaitu 84,3% hal tersebut dapat dilihat pda tabel 1.
Buruknya tingkat pengetahuan ini disebabkan sebagian mahasiswa menjawab haram
hukum sunat pada perempuan. Sebenarnya masalah sunat yang paling
jelas perintahnya adalah sunat
pada laki-laki. Sunat pada perempuan masih banyak perbedaan pendapat.
Salah satu hadits dari Ummu Atiyah
diceritakan bahwa di Madinah ada seorang perempuan tukang khitan lalu
Rosulullah saw berkata pada perempun tersebut: “Khitanlah (perempuan itu),
tetapi jangan berlebihan, sesungguhnya hal itu akan mempercantik wajah
perempuan dan menyenangkan suami.” Abu Dawud memasukkan hadits ini pada
golongan hadits dho'if begitu pula dengan Sayyid Sabiq mengatakan bahwa hadits
yang berhubungan dengan khitan perempuan adalah dho'if. Imam Hanafi dan Imam
Maliki berpendapat bahwa khitan perempuan sebatas kehormatan. Imam Syafi'i dan
Imam Hambali mewajibkan dilakukannya sunat pada perempuan.
WHO melarang praktik khitan pada
perempuan, begitu pula di Indonesia dengan surat edaran HK.00.07.1.3.1047a tanggal 20 April 2006.
Dimana di dalam surat tersebut disebutkan bahwa khitan terhadap wanita
merupakan praktek perusakan alat kelamin perempuan, sehingga harus dilarang
(Munir, 2007). Sebenarnya
dalil yang melarang secara jelas tentang khitan perempuan belumlah secara jelas
ada, sehingga hal tersebut dapat dikembalikan pada asas mudhorat dan manfaat.
Oleh karena masalah khitan ini menyangkut keyakinan seseorang atau sekelompok
orang, dan yang penting tidak merugikan pihak-pihak tertentu harus kita hormati
dan hargai.
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Mengenai Fiqih
Tentang KB Pada Ibu Bersalin dan Nifas
Sebanyak 88,8% mahasiswa memiliki
tingkat pengetahuan yang buruk terhadap fiqih tentang keluarga berencana (KB),
hal ini dapat dilihat dari tabel 1. Dalam Himpunan Keputusan Tarjih dinyatakan
bahwa tubektomi dan vasektomi adalah tidak dibolehkan. “...segan mempunyai
keturunan, atau dengan cara merusak/merubah organisme yang bersangkutan,
seperti: memotong, mengikat dan lain-lain.” KB jenis lain diperbolehkan dalam
keadaan darurat. Kriteria darurat tersebut adalah khawatir kesehatan dan
keselamatan ibu dan janin, khawatir keselamatan agama akibat kesempitan hidup
(ekomoni) (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2009). Pada penelitian ini sebagian
besar mahasiswa menjawab hukum KB adalah wajib dan boleh melakukan tubektomi
dan vasektomi tanpa memberikan alasan diperbolehkannya.
Tingkat Pengetahuan
Mahasiswa Mengenai Fiqih Tentang Sanggama Pada Ibu Bersalin dan Nifas
Jawaban
mahasiswa mengenai fiqih tentang sanggama pada ibu nifas memiliki tingkat
pengetahuan yang baik yaitu 83,1% (tabel 1). Walau demikian masih ada mahasiswa
yang menjawab menunggu 40 hari atau bila ibu sudah tidak merasa nyeri lagi
(sudah siap). Sebenarnya batas lamanya nifas rata-rata 40 hari, namun tidak
menutup kemungkinan ada ibu yang darah nifasnya sudah berhenti sebelum 40 hari
dan bahkan ada yang lebih dari 40 hari. Imam Safi'i berpendapat bila sampai 15
hari darah sudah tidak keluar lagi maka ibu sudah dianggap suci. Madzhab Safi'i
dan Maliki berpendapat masa nifas yang paling lama 60 hari. Hal-hal yang tidak
diperbolehkan saat nifas salah satunya adalah bersetubuh (Umar, 1986).
SIMPULAN DAN
SARAN
Simpulan
Dari hasil
penelitian didapatkan kesimpulan bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan
mahasiswa mengenai fiqih ibu bersalin dan nifas masih dalam kategori buruk
untuk fiqih tata cara bersuci (59,6%), fiqih ibu menyusui (95,5%), kewajiban
pada bayi baru lahir (95,4%), perawatan ari-ari (70,8%), sunat pada perempuan
(84,3%) dan tentang KB (88,8%). Hasil penelitian dalam kategori baik didapatkan
dari tingkat pengetahuan responden mengenai fiqih shalat (88,8%) dan tentang
sanggama (83,1%).
Saran
Saran
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan dan masukan
dalam revisi kurikulum mata kuliah AIK.
DAFTAR RUJUKAN
Arifah, S. & Kartini, F.
2010. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu PostPartum Dengan Perilaku Mandi
Besar Setelah Nifas Di BKIA 'Aisyiyah Karangkajen 2010. Skripsi Tidak
Diterbitkan. STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta: Yogyakarta.
Al-Hafidz,
A. W. 2007. Fikih Kesehatan. Amzah: Jakarta.
Al-Qur'an.
2010. Miracle The Reference. Sygma: Bandung.
Bari, S.
2000. Maternal dan Neonatal. YBP-S: Jakarta.
Estiwidani,
D., Meilani, N., Widyasih, H., & Widyastuti, Y. 2008. Konsep Kebidanan.
Fitramaya: Yogyakarta.
Jamaluddin,
S. 2010. Kuliah Ibadah. LPPI UMY: Yogyakarta.
Kreibs,
J. M., & Gegor, C. L. 2010. Buku Saku Asuhan Kebidanan varney. Second
Edition. EGC Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta.
Menteri
Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2009. Pedoman Hidup
Islami Warga Muhammadiyah.
Suara Muhammadiyah: Yogyakarta.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih. 2009. Himpunan
Keputusan Tarjih Muhammadiyah. Suara Muhammadiyah: Yogyakarta.
Sabiq, S.
2008. Fiqih Sunnah. (Terj. Ahmad Shiddiq Thabrani, A. S., dkk). Pena Pundi Aksara: Jakarta.
Umar, A.
1986. Fiqih Wanita. Asy Syifa': Semarang.
Yussianto,
A. 2011. Jaminan Persalinan, Upaya Terobosan Kementerian Kesehatan Dalam
Percepatan Pencapaian Target MDGs, Departeman Kesehatan Republik Indonesia,
(Online), (http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/) diakses 16 April 2011.