Oleh
: Sri Lestari Linawati
Anak memiliki 4 hak, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh, hak
untuk berkembang dan hak untuk berbicara (UU Perlindungan Anak). Karenanya,
orangtua memelihara perkembangan janin, merawatnya sejak bayi, dan mendidiknya
sejak dini, sebagai implementasi hak hidup, tumbuh dan berkembang. Bagaimana
dengan hak berbicara?
Dulu, anak harus mematuhi semua perintah orangtua. Apapun yang
orang tua katakan, inginkan, harapkan, harus dipenuhi oleh anak, sama persis
sebagaimana yang orangtua katakan, inginkan, harapkan. Jangan pernah
sekali-kali anak berani membantah. Yang bisa dilakukan seorang anak hanyalah
menuruti saja apapun itu. Itu dulu. Kini, tak serta merta demikian. Jaman telah
berubah. Pendidikan mengajarkan bahwa penting mendengarkan suara anak, aspirasi
anak. Mengapa? Karena anak memiliki hak berbicara.
“Hari ini ingin makan apa, Sayangku?” tanya sang ibu pada anak
balitanya, sebelum berangkat belanja ke pasar. Anak menjawab, “Aku ingin sop bayam
dan tempe goreng”. Sepulang belanja, sang ibu mengeluarkan belanjaannya,
dibantu sang buah hati. Perlahan sang ibu menyebutkan satu persatu belanjaannya.
“Bayam…, wortel…, tauge…, bumbu dapur…, tempe…, tahu...”. Anak pun dengan penuh
semangat membantu sang ibu dan menirukan pelan yang disebutkan ibu. “Bayam…,
wortel…, tauge…, bumbu dapur…, tempe…, tahu...”. Ibu dan anak pun sudah sibuk
di dapur, mulai memetik daun bayam, memotong wortel, mencuci tauge, mengiris
bawang merah dan bawang putih, memotong tempe, menggorengnya, hingga
menyajikannya di atas meja. Makan bersama dengan seluruh anggota keluarga,
menjadi bagian hidup terindah yang tak boleh dilewati.
Begitulah potret sederhana bagaimana membangun komunikasi ibu dan anak yang masih berusia balita. Kehangatan dalam keluarga tak harus menunggu saat liburan sekolah, karena komunikasi bisa dilakukan setiap hari. Kehangatan suasana keluarga tidak harus pergi nonton bioskop, karena aktivitas bersama di rumah pun cukup menjadi tontonan bagi anak. Pun tak harus berlibur ke luar negeri, karena sejenak saat bersama ibu atau ayah cukup memberi arti berlibur bagi anak dari kegiatan bermain bersama teman-temannya. Ada teramat banyak hal yang dapat dilakukan di dalam rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membuat anak merasa dihargai karena pendapatnya didengarkan, diapresiasi dan diaplikasikan. Terjadilah proses saling menghormati dan saling menghargai di dalam keluarga. Hal inilah yang menumbuhkan rasa percaya diri anak.
Makna komunikasi yang kedua bahwa saya sebagai ibu perlu belajar
mendengarkan pendapat anak. Belajar mendengar pendapat anak dengan mendengarkan
pendapatnya. Saya juga belajar menyatakan harapan saya pada anak. Duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi. Sungguh untuk hal ini saya harus belajar dan
belajar.
“Anakku,
ibu ayah meginginkanmu sekolah di pondok pesantren. Pertama, pelajaran sekolah
sebagaimana SMP pada umumnya, diberikan di sini. Kedua, shalat dan baca Qur’an
dijaga selalu. misalnya. Penting untuk kita, agar kita dekat dengan Allah, agar
kita mengetahui tujuan akhir hidup kita. Bagaimana menurutmu?”. Ini komunikasi
saat anak mulai masuk tingkat akhir Sekolah Dasar.
Selama anak di pondok pesantren, ibu masih berperan menjalin komunikasi dengan anak. Dengan mematuhi aturan yang telah ditetapkan pondok tentang bagaimana aturan komunikasi boleh dijalin, orang tua harus siap sedia. Juga bagaimana kenyamanan anak dalam menjalin hubungan komunikasi dengan kita. Ada anak yang enggan telpon karena maunya bicara langsung dengan orangtua saat liburan di rumah. Ada anak yang inginnya ditelpon saat anak mendapat jatah giliran menerima telpon, meski sekedar tanya,”Ibu ngapain?”. Ada juga anak yang telponnya sesuka hatinya saat dia menginginkan telpon. Adapun hari libur pondok dan waktu telpon ada yang sabtu, ahad, kamis atau jumat. Sebagai ibu, mustilah siap selalu bila menerima sms anak, “Assalamu’alaikum.. Bagaimana kabar Ibuk? Alhamdulillah aku sehat. Kalau nanti Ibuk ada waktu, telpon ya.. Big hug, Mom..” Wuih.., tentu berbunga hati ini baca sms begini. Secapek apapun, seakan segera terobati. Adapun bila sms berbunyi, “Buk, telpon balik”, ini artinya ibu musti segera menelpon sang buah hati.
Demikianlah
sekilas gambaran upaya-upaya membangun komunikasi antara ibu dan anak. Anak
yang menyejukkan mata yang digambarkan dalam Al-Qur’an musti diuraikan maknanya
dalam setiap tarikan nafas kita. Bukan semata bacaan doa atau tulisan harapan
yang cukup ditempelkan sebagai status. Wallahu a’lam. Semoga para ibu mampu
bersabar mewujudkan anak yang berbakti sebagaimana firman Allah Surat Al-Ahqaf
ayat 15 “…sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh
tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat
Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku
dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku
dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada
Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Amin..