*** Lina ***
“Inna lillahi
wainna ilaihi rajiun..” Kalimat itulah yang selalu kita ucapkan saat mendengar
berita kematian. Kemudian kita melayat dan menanyakan sebab kematiannya. Pada akhirnya
memang kita memang meyakini makna kalimat tersebut, “Sesungguhnya hanya bagi
Allah (kita hidup) dan sungguh hanya kepada Allah kita akan kembali”. Tradisi
pemakaman di daerah Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta ini adalah
diputarkan kaset lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dan artinya. Saat takziyah
menjadi saat-saat perenungan hakikat asal dan tujuan akhir hidup kita. Dari
sebab-sebab kematian, kita menjadi belajar bahwa Tuhan Maha Berkehendak.
Kapanpun, di manapun, dengan jalan apapun, kematian itu bisa saja menjemput.
Tak selalu menunggu tua, muda pun bisa mati. Tak menunggu kaya, miskin pun bisa
mati. Tak menunggu sakit, sehat pun bisa mati. Tak menunggu lapang, sempit pun
bisa mati. Artinya, kapanpun dan dimanapun mustilah kita siap dengan kematian.
Kapanpun Allah menghendaki kita kembali, mustilah siap senantiasa adanya.
Konflik itu
datang, ketika suatu Rabu sore, setahun lalu, Sang Dokter Bedah memberi tahu
saya untuk operasi pada Jumat pagi. Gedubrak.. Tentulah satu hal yang tak
pernah saya bayangkan. Hla bagaimana mungkin.. Saya merasa sehat dan baik-baik
saja. Saya masih bisa beraktifitas dan bekerja. Ke dokter bedah ini pun, karena
keputusan cepat yang saya ambil sebelumnya di faskes 1. Dokter di sana
mengatakan saya perlu dirujuk ke dokter bedah. Duh.. bagaimana awalnya dan
bagaimana akhirnya?
Begini.. inilah
kisah saat Allah mengirim saya ke sekolah bernama “Pelatihan Kesakitan”. Saya
menyaksikan bagaimana Allah mendidik kita, bagaimana Allah melimpahkan kasih
sayangnya pada kita, bagaimana Allah sangat melindungi kita. Bagaimana scenario
Allah sangat teliti dalam mengatur hidup dan kehidupan kita. Setelah itu
akhirnya saya hanya mampu berserah diri pada Allah. Saya manut saja pada
kehendak Allah. Kepasrahan itu bukan taka da daya juang dari kita, sebaliknya,
yang namanya kepasrahan itu butuh perjuangan kita yang seoptimal mungkin, yang
terbaik yang bisa kita lakukan. Masalahnya, dalam masyarakat kita, dalam budaya
masyarakat Indonesia, persoalan social, ekonomi, budaya, politik, keamanan dan
hankam mendefinisikan kepasrahan dalam makna sempit. Gagal sedikit, nyerah.
Gagal sedikit, lari dari kenyataan. Gagal sedikit, mencari kambing hitam. Duh,
hla kambing putih saja ada banyak, mengapa harus mencari kambing hitam?!
Ini persoalan paradigm berfikir yang harus dibenahi. Paradigma berfikir masyarakat kita harus dibangun dalam paradigm tauhid. “Inna lillahi wainna ilaihi rajiun” merupakan sebuah paradigm tauhid. Meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan, Allah pula pelabuhan terakhir kita. Bila sudah sampai di titik ini, Allah awal dan akhir hidup kita, insyaallah jelaslah langkah-langkah yang kita lakukan. Taka da keraguan sedikitpun dalam melangkah. Peran apapun yang kita mainkan di dunia ini, itu kita yakini sebagai peran kekhalifahan kita di muka bumi. Di saat sujud-sujud kita, akhirnya kita pun hanya akan meyakini bahwa kita adalah hambaNya. Tak perlu ada riak kesombongan dalam diri karena kita semata ‘abdun dan khalifah fil ardh. Terus bergerak di muka bumi untuk menjalankan peran kekhalifahan dan senantiasa beribadah kepadaNya. Tri dharma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat) dan catur dharma bagi perguruan tinggi Muhammadiyah/ Aisyiyah( tri dharma PT + bermuhammadiyah) adalah langkah yang musti ditempuh seorang dosen untuk mewujudkankan peran ‘abdun dan khalifah fil ardh. Kegiatan-kegiatannya diukur dengan jalan-jalan yang telah ditentukan. Nah, ruh tauhid itu mustilah mewujud dalam kiprah catur dharma tersebut. Mengapa? Karena bermuhammadiyah hakikatnya adalah berislam, dan berislam itu bertauhid, mengesakan Tuhan Yang Satu: Allah. Ingatlah ketika Luqman berwasiat kepada anaknya, “La tusyriq billah”, jangan sekutukan Allah..
Bagaimana dengan
anak didik kita? Pendidikan kita, awal dan akhirnya mustilah menggunakan paradigm
tauhid, apapun nama lembaganya. Selama pegangannya tauhid, insyaallah Allah SWT
berkenan melindungi, melimpahkan kasih sayangnya, mencukupi semua kebutuhan
kita. Kita sehat karena Allah. Kita bekerja karena Allah. Kita mengajukan
proposal karena Allah. Kita menulis karena Allah. Kita dinobatkan berprestasi
karena Allah. Kita naik jabatan karena Allah. Kita tetap tersenyum dan ringan
membantu sesame karena Allah. Pekerjaan datang dan datang juga karena Allah. Wallahu
a’lam.
(Maret 2017)
(Maret 2017)