Jumat, 19 Oktober 2018
Komunikasi Profesi
Oleh: Sri Lestari Linawati
Karena didesak oleh teman-teman untuk menanyakan sebab-sebab sakit saya, maka suatu sore saat control, usai pemeriksaan, saya beranikan diri untuk bertanya pada dokter. Teman-teman menyarankan itu agar mereka mengetahui langkah antisipasinya. Malu-malu saya bertanya. “Dok, apa sebenarnya penyebab sakit saya?” perlahan dan hati-hati saya bertanya pada dokter yang tampak ramah dan penuh keteduhan itu.
Sejenak beliau memandang saya. Tersenyum seraya berkata lembut, “Bu, Ibu tahu kan, orang gila tidak pernah mandi, tapi dia tidak pernah sakit seperti yang Ibu derita? Jadi berfikir sederhana saja.. Sakit, diobati, sudah. Yang penting kita ikhtiar.”
Saya pun tersenyum dan mengangguk, “Iya juga..” Saya jadi malu dengan pertanyaan yang telah saya ajukan dan bermaksud segera meninggalkan ruang poliklinik bedah. Bukankah saya mengaku bertuhan Allah? Bukankah saya pun tahu bahwa bila Allah berkehendak, maka Dia cukup berfirman “Kun” maka jadilah? Bukankah dokter telah melakukan upaya terbaik, mengapa saya masih harus membebani beliau dengan pertanyaan remeh temeh begini? Duh malu deh..
Ternyata Pak Dokter melanjutkan jawabannya dengan penuh bijak. Tidak menampakkan ketergesa-gesaan dalam melayani pasien-pasiennya. Saya yakin beliau juga tahu bahwa di luar masih banyak pasien yang antri, namun beliau dengan cerdas menyampaikan jawaban yang saya butuhkan. Keterangan medis. Ilmiah tentunya. Bukan mistis. Dengan sedikit beringsut dari tempat duduknya, beliau mengeluarkan notebooknya. Dengan sigap, singkat, padat, jelas dan gamblang beliau menjelaskan penyakit saya. Sebagai orang awam, dijelaskan begitu membuat saya adem. Saya belajar bahwa istilah medis ilmiah tidak harus bikin pening pendengarnya. Orang awam macam saya ternyata juga boleh mendapatkan penjelasan yang bisa saya fahami. Dalam konteks inilah, menurut saya, sang dokter ini adalah orang yang mulia.
Dalam konteks komunikasi, dokter berhasil melakukan komunikasi dengan pasiennya. Pasien diberikan haknya untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Penjelasan dokter yang gamblang, mengantarkan pasien memiliki pengetahuan yang utuh hal penyakitnya. Yang utuh itu antara lain tentang sakitnya apa, mengapa, bagaimana mengatasinya, bagaimana perawatan pasca operasi, hingga masa pemulihannya. Yang utama, sakit itu mengajarkan kepada saya akan kasih sayang dan kemurahan Allah.
Tentu bukan hanya kepada pasien, dokter juga perlu melakukan komunikasi dengan sesama dokter, komunikasi dengan perawat yang membantu ketugasannya, komunikasi dengan pimpinan Rumah Sakit, karyawan dan staf, hingga tukang kebun dan satpam.
Di rumah, sang dokter melakukan komunikasi dengan istri/ suami, anak-anaknya, keluarganya, tetangganya, masyarakat dan bangsanya. Adapun komunikasi keilmuannya, dokter berkomunikasi melalui presentasi ilmiah, penulisan artikel dan jurnal. Semua itu dipelajari secara bertahap, terus-menerus dan berkesinambungan.
Hal itu karena dokter juga manusia. Hablum minallah dan hablum minannas senantiasa menjadi acuannya. “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (Adz-Dzariyat 51: 56)
“Jawaban yang lemah lembut, dapat menyingkirkan kemarahan.” (George Rona)
“Teladan itu turun ke bawah, bukan naik ke atas.” (Joseph Joubert)
“Jiwa manusia dapat diketahui, baik dari suaranya, maupun dari sinar matanya.” (Alph de Lamartine)
“Kata-kata bijaksana seringkali tak didengar, namun kata-kata yang lembut akan selalu diingat orang.” (Arthur Helps)
“Tidaklah ia dikatakan intelek, sebelum tampak nyata bekas ilmunya di kalangan masyarakat.” (Al-Ghazali).
Yogyakarta, 18 Oktober 2018.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar