Sabtu, 29 April 2017

QUANTUM PENGELOLAAN KONFLIK, RESOLUSI KONFLIK DAN PERDAMAIAN


*** Lina ***

“Inna lillahi wainna ilaihi rajiun..” Kalimat itulah yang selalu kita ucapkan saat mendengar berita kematian. Kemudian kita melayat dan menanyakan sebab kematiannya. Pada akhirnya memang kita memang meyakini makna kalimat tersebut, “Sesungguhnya hanya bagi Allah (kita hidup) dan sungguh hanya kepada Allah kita akan kembali”. Tradisi pemakaman di daerah Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta ini adalah diputarkan kaset lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dan artinya. Saat takziyah menjadi saat-saat perenungan hakikat asal dan tujuan akhir hidup kita. Dari sebab-sebab kematian, kita menjadi belajar bahwa Tuhan Maha Berkehendak. Kapanpun, di manapun, dengan jalan apapun, kematian itu bisa saja menjemput. Tak selalu menunggu tua, muda pun bisa mati. Tak menunggu kaya, miskin pun bisa mati. Tak menunggu sakit, sehat pun bisa mati. Tak menunggu lapang, sempit pun bisa mati. Artinya, kapanpun dan dimanapun mustilah kita siap dengan kematian. Kapanpun Allah menghendaki kita kembali, mustilah siap senantiasa adanya.

Konflik itu datang, ketika suatu Rabu sore, setahun lalu, Sang Dokter Bedah memberi tahu saya untuk operasi pada Jumat pagi. Gedubrak.. Tentulah satu hal yang tak pernah saya bayangkan. Hla bagaimana mungkin.. Saya merasa sehat dan baik-baik saja. Saya masih bisa beraktifitas dan bekerja. Ke dokter bedah ini pun, karena keputusan cepat yang saya ambil sebelumnya di faskes 1. Dokter di sana mengatakan saya perlu dirujuk ke dokter bedah. Duh.. bagaimana awalnya dan bagaimana akhirnya?

Begini.. inilah kisah saat Allah mengirim saya ke sekolah bernama “Pelatihan Kesakitan”. Saya menyaksikan bagaimana Allah mendidik kita, bagaimana Allah melimpahkan kasih sayangnya pada kita, bagaimana Allah sangat melindungi kita. Bagaimana scenario Allah sangat teliti dalam mengatur hidup dan kehidupan kita. Setelah itu akhirnya saya hanya mampu berserah diri pada Allah. Saya manut saja pada kehendak Allah. Kepasrahan itu bukan taka da daya juang dari kita, sebaliknya, yang namanya kepasrahan itu butuh perjuangan kita yang seoptimal mungkin, yang terbaik yang bisa kita lakukan. Masalahnya, dalam masyarakat kita, dalam budaya masyarakat Indonesia, persoalan social, ekonomi, budaya, politik, keamanan dan hankam mendefinisikan kepasrahan dalam makna sempit. Gagal sedikit, nyerah. Gagal sedikit, lari dari kenyataan. Gagal sedikit, mencari kambing hitam. Duh, hla kambing putih saja ada banyak, mengapa harus mencari kambing hitam?!

Ini persoalan paradigm berfikir yang harus dibenahi. Paradigma berfikir masyarakat kita harus dibangun dalam paradigm tauhid. “Inna lillahi wainna ilaihi rajiun” merupakan sebuah paradigm tauhid. Meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan, Allah pula pelabuhan terakhir kita. Bila sudah sampai di titik ini, Allah awal dan akhir hidup kita, insyaallah jelaslah langkah-langkah yang kita lakukan. Taka da keraguan sedikitpun dalam melangkah. Peran apapun yang kita mainkan di dunia ini, itu kita yakini sebagai peran kekhalifahan kita di muka bumi. Di saat sujud-sujud kita, akhirnya kita pun hanya akan meyakini bahwa kita adalah hambaNya. Tak perlu ada riak kesombongan dalam diri karena kita semata ‘abdun dan khalifah fil ardh. Terus bergerak di muka bumi untuk menjalankan peran kekhalifahan dan senantiasa beribadah kepadaNya. Tri dharma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat) dan catur dharma bagi perguruan tinggi Muhammadiyah/ Aisyiyah( tri dharma PT + bermuhammadiyah) adalah langkah yang musti ditempuh seorang dosen untuk mewujudkankan peran ‘abdun dan khalifah fil ardh. Kegiatan-kegiatannya diukur dengan jalan-jalan yang telah ditentukan. Nah, ruh tauhid itu mustilah mewujud dalam kiprah catur dharma tersebut. Mengapa? Karena bermuhammadiyah hakikatnya adalah berislam, dan berislam itu bertauhid, mengesakan Tuhan Yang Satu: Allah. Ingatlah ketika Luqman berwasiat kepada anaknya, “La tusyriq billah”, jangan sekutukan Allah..

Bagaimana dengan anak didik kita? Pendidikan kita, awal dan akhirnya mustilah menggunakan paradigm tauhid, apapun nama lembaganya. Selama pegangannya tauhid, insyaallah Allah SWT berkenan melindungi, melimpahkan kasih sayangnya, mencukupi semua kebutuhan kita. Kita sehat karena Allah. Kita bekerja karena Allah. Kita mengajukan proposal karena Allah. Kita menulis karena Allah. Kita dinobatkan berprestasi karena Allah. Kita naik jabatan karena Allah. Kita tetap tersenyum dan ringan membantu sesame karena Allah. Pekerjaan datang dan datang juga karena Allah. Wallahu a’lam.      

 (Maret 2017) 

Bu Us, ternyata mahfudzat bukan sekedar hafalan kuliah


***Lina***

Segera kulambaikan tangan saat sebuah bis besar dari arah pertigaan Kartosuro mulai berjalan ke arah kami. Hari masih gelap. Hanya ada lampu kota remang-remang. Bis tetap melaju. Ternyata bis mau masuk garasi, maka tak hendak menaikkan penumpang.  Tampak lagi sebuah bis besar dari belokan itu, kulambaikan lagi tanganku. Aha.. rupanya bis pariwisata. Maklumlah hari masih berselimut gelap, jadi tulisan tujuan bis tak bisa segera terbaca. Sesaat kemudian, lewat lagi sebuah bis besar. Masih saja aku berharap kondektur membukakan pintu untukku, karena aku harus mengajar jam 08.00 nanti. Alhamdulillah, kali ini pintu bis benar-benar terbuka untukku. Terima kasih, ya Rabb.

Bis berjalan biasa saja. Tidak terlalu cepat, pun tak terlalu lambat. Sesekali berhenti, menaikkan penumpang. Tampak wajah berseri penumpang yang akhirnya bisa masuk bis. Kali ini aku sangat menikmati jalannya bis, meski beberapa kali berhenti untuk menaikkan penumpang. Kuperkirakan masih cukup waktuku untuk bisa sampai kampus. Jangan sampai aku tidak masuk kerja, bisa susah untuk mencari jadwal penggantinya. Pun waktu masih pagi buta. Para penumpang itu hendak menuju tempat tertentu dan berharap bis mampu mengantarkannya ke tujuan mereka. Alangkah mulianya ikhtiar awak transportasi. Mereka mengatur jadwal sedemikian rupa, agar mampu hidup dan tentu untuk membantu pencapaian tujuan para penumpang.

Aku jadi teringat pada kata mutiara yang diajarkan saat studi S1,

خَيْرُ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً وَأَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia itu, adalah yang terlebih baik budi pekertinya dan yang lebih bermanfaat bagi manusia”.

Kalau pak sopir, kondektur dan segenap awak bis bersungguh-sungguh mengurus masalah transportasi agar dapat membantu pencapaian tujuan tiap orang, kiranya seperti itulah pentingnya orang belajar, berorganisasi dan meningkatkan kapasitas diri dan organisasi. Ketika bis tak lagi lewat, maka susah masyarakat menuju pasar, sekolah atau lainnya.

Ketika kita sekolah, maka aka nada banyak peluang bagi orang lain untuk terbantu atas sumbangsih kita pada kemajuan ilmu. Di manapun kita siap diminta berhenti para penumpang pembelajar yang berniat menuju tujuan perjalanan hidupnya.

Lembaga pendidikan ibarat kumpulan bis. Melakukan pengajaran, sebagaimana bis memberikan jasa transportasi. Yang difikirkan oleh awak bis adalah bagaimana bisnya bisa memberikan layanan terbaik kepada para penumpang. Agen tiket. Agar tahu jam keberangkatan dan jam kedatangan di tempat tujuan. Karenanya penumpang dapat memperkirakan agenda selanjutnya, dana pa pula yang harus dipersiapkan selama perjalanan. Harganya relative tetap, dan jelas, tidak berubah setiap saat semaunya kondektur dan tanpa bukti pembayaran. Maka diaturlah oleh pengelola bis: armada bis ada sejumlah berapa, sopirnya siapa saja, kndekturnya siapa saja, siapa yg tugas jaga tiket, siapa yg tugas membersihkan bis agar bis tetap dalam keadaan bersih dan nyaman, selamat.

Demikian pula pendidikan. Ketika mengorganisir diri, sudah selayaknya belajar dari layanan transportasi. Lembaga pendidikan mempersiapkan tenaga SDM yang akan mengendalikan, mengurus, merawat kemanusiaan. Maka orang perlu belajar dan belajar. Orang perlu pula memberikan layanan terbaik kepada setiap anak didiknya, membuatnya mengerti apa yang mereka pelajari. Di sinilah pentingnya guru mengajarkan pada anak didik tentang kebermanfaatan ilmu yang sedang dipelajarinya.

Belajar membaca Al-Qur’an misalnya. Kebermanfaatan membaca Al-Qur’an tidak serta-merta mencetak da’i kondang, atau ahli tafsir Qur’an, atau  mencetak ahli lajnah pentashih Qur’an. Bukan itu saja. Masih ada banyak sisi-sisi Al-Qur’an yang masih urgen dan strategis  kita ajarkan kepada anak didik, sejak dalam kandungan, usia dini, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi, pasangan keluarga, hingga lansia. Mustilah diorganisir dengan sebaik-baiknya tiap tingkatan itu dalam hal manajemennya, tentu agar peserta didiknya dapat terlayani dengan baik. Dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai makhraj dan tajwidnya, ada kesediaan dan motifasi untuk membaca arti dan terjemahnya, dapat memahami kandungan isinya Al-Qur’an.

Lembaga pendidikan yang senantiasa mengupayakan tercapainya tujuan para penumpangnya, yaitu peserta didiknya, kebermanfaatan yang dapat diraihnya, insyaallah Allah berikan padanya kehidupan yang baik, pahala yang lebih baik daripada apa yang telah diupayakannya (An-Nahl : 97)


مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ  

“Siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (16: 97)

Penting bagi lembaga pendidikan mengatur jam keberangkatan dan jam tiba, saat mulai belajar dan kapan mengakhirinya, menyusun guru siapa yang akan bertugas mengajar, siapa asisten guru yang bertugas mempersiapkan segenap peralatan yang diperlukan selama pengajaran, siapa yang bertugas membersihkan ruang kelas dan kamar mandi, memastikan ruang kelas bersih dan nyaman untuk pembelajaran. Bagaimana pula sikap dan perilaku ‘pelayan-pelayan’ pendidikan dalam memperlakukan peserta didik. Tentu mustilah baik dan menyenangkan, dapat menjadi teladan, sebagaimana pak sopir dan kondektur mustilah ramah kepada setiap penumpangnya. Bukan sebaliknya, melakukan ancaman dan penuh tekanan pada anak didik, dengan dalih apapun. Agama hadir untuk membebaskan jiwa manusia untuk menghadapkan diri hanya pada Allah Sang Pencipta. Dari-Nya kita hadir di bumi, pada-Nya jua kita kan kembali.

Dengan demikian, guru perlu diupayakan kesejahteraannya, dijamin kenyamanannya dalam mengajar. Dengan apa? Bukan semata dari lembaran rupiah, namun juga lingkungan dan suasana yang menggairahkan budaya kerja, membuka kran-kran studi lanjut bagi para guru, baik memanfaatkan peluang beasiswa yang mensyaratkan penguasaan Bahasa Inggris, maupun koordinasi-koordinasi internal yang mencerahkan dan mencerdaskan para guru. Bukan semata merampungkan tugas administrative kependidikan, meski itupun menyita cukup banyak energy guru.


Guru, sebagaimana sopir, mustinya mempersilakan kepada anak didik untuk turun di pemberhentian mana pun. Tidak bisa sopir memaksa semua penumpang untuk turun di pemberhentian terakhir tujuan perjalanan. Dalam konteks inilah, setiap lembaga pendidikan, di tingkat manapun, perlu melakukan pembenahan dan refleksi layanannya. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 29 April 2017