Senin, 04 Desember 2017

Panduan Efektivitas Kuliah Praktikum Bahasa Arab




Oleh : Sri Lestari Linawati


Orientasi perkuliahan bahasa Arab, sejak tahun akademik 2016/2017 lebih diarahkan pada percakapan perawat dengan pasien. Tujuan ini tentu lebih spesifik penggunaannya, sesuai dengan kebutuhan perawat.

Di era MEA, perawat dituntut menguasai bahasa internasional, agar leluasa memasuki dunia kerja nantinya, di manapun. Sejak tahun 2009, Prodi Perawat Unisa telah menetapkan pentingnya penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Arab sebagai kurikulum pendukung, agar lulusan mampu bersaing secara global. Alasan kedua karena Unisa hendak mencetak muballigh/ muballighat di bidang kesehatan. Artinya, penguasaan bahasa Inggris dan Arab menjadi mutlak diperlukan bagi mahasiswa perawat.

Faktanya, mahasiswa masih kesulitan dalam mempelajari bahasa Arab. Akhirnya Tim Bahasa Arab merumuskan perlunya spesifikasi perkuliahan. Kuliah bahasa Arab di Perawat Unisa sudah saatnya menyiapkan muatan materi yang sesuai dengan kebutuhan perawat, bukan bahasa Arab sebagaimana umumnya di pesantren, lembaga kursus atau institusi lainnya. Ini hanya khusus terkait dunia keperawatan saja.

Ada banyak hal yang perlu dipelajari bagi penguasaan bahasa Arab perawat, yaitu (1) pengenalan dasar-dasar bahasa Arab, (2) pengenalan bahasa Arab medis dan (3) intensif percakapan Arab perawat. Pembagian ini disusun menyesuaikan 3 semester yang disediakan Prodi Perawat bagi penguasaan bahasa Arab.

PENAMAAN KULIAH
Nama mata kuliah untuk bahasa Arab adalah Bahasa Arab 1 (ditempuh pada semester 4), Bahasa Arab 2 (semester 5) dan Bahasa Arab 3 (semester 6). Besaran SKS masing-masing 2. Bahasa Arab 1 sejumlah 2 SKS teori, namun sejak TA 2016/2017 menjadi 1 SKS teori dan 1 SKS tutor.

Bahasa Arab 2 sejumlah 2 SKS, yaitu 1 SKS teori dan 1 SKS praktikum. Begitu juga Bahasa Arab 3, yaitu 1 SKS teori dan 1 SKS praktikum.

Kurikulum baru yang dimulai TA 2016/2017, penamaan mata kuliah ada perubahan menjadi Nahwu, Sharaf dan Muthala'ah. Hingga kini Tim Bahasa Arab belum sampai mengubah nama tersebut, namun substansi perkuliahan lebih menjadi prioritas untuk dilakukan terobosannya.

Kelas praktikum lebih banyak dimanfaatkan mahasiswa untuk belajar bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Mulai salam pembukaan, jurnal pembelajaran hingga materi inti, semua dimanfaatkan bagi tercapainya kemampuan berbicara Arab.

Assalamu'alaikum.. Kaifa halukum ? Hayya nabda' hadihid dirasah bikalimah basmalah ma'an..

Sampai di bagian ini, alhamdulillah mahasiswa sedikit demikit mulai familiar. Yach.. kid jaman now.. Mereka mahasiswa cerdas.

Ats-tsaniy, hayya naqraul qur'an.. ayyu surah sanaqra' ? limadza naqraul qur'an ? lianna yajibu 'alaina an naqra'al qur'an fi awwalid dirasah. Unisa "Profesional Qur'ani", profesional yang terinspirasi Al-Qur'an.

Membaca Al-Qur'an di awal kuliah di Unisa sudah lama dilandingkan. Patut kita amalkan bersama. Tak hanya itu, sesi ini diharapkan dapat menunjang ketercapaian target kuliah bahasa Arab. Kok ?

Karena Al-Qur'an turun dengan bahasa Arab. Ada 4 hal penting yang nantinya juga berguna bagi percepatan penguasaan bahasa Arab, yaitu makharijul huruf, tasydid, panjang pendek bacaan dan tajwid. Empat hal tersebut adalah permasalahan yang umum dialami mahasiswa, karenanya diperlukan metode pengajaran yang efektif, menyenangkan dan mampu mencapai sasaran perkuliahan.

Kuliah inti, percakapan bahasa Arab. Di bagian ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan pengucapan kosakata bahasa Arab terkait medis dan keperawatan. Sebagai bahasa asing, wajar bila mahasiswa umumnya masih kesulitan mengucapkannya. Satu dua mahasiswa memang ada yang dari pondok pesantren, beberapa lainnya pernah mendapat pelajaran bahasa Arab waktu SD atau SMP atau SMA. Adapun sebagian besar lainnya baru mengenal bahasa Arab ya di Unisa ini. Adapun mahasiswa non muslim, kendalanya adalah di huruf Arab yang belum dikenal. Mungkinkah menguasai bahasa Arab tanpa mengenal huruf Arab ? Weh.. sulit ya.. Sementara kita usahakan dengar dan tirukan saja dulu, sambil kita terus mencari format yang pas untuk kondisi pembelajar.

PROGRES MAHASISWA
Alhamdulillah, ternyata perkuliahan yang lebih banyak mengedepankan percakapan, mulai menampakkan hasilnya. Mahasiswa lebih aktif, memahami dan mulai menyukai bahasa Arab. Ujian yang beralih menjadi ujian lisan, terasa lebih riil, daripada ujian tulis.

Kelas native memberikan nuansa tersendiri karena pengalaman baru. Mahasiswa juga termotivasi untuk berani ngomong Arab.

Tugas video percakapan Arab juga mendapat respon positif dari mahasiswa. Video yang dikumpulkan pada TA 2016/2017 hingga pelaksanaan UTS Gasal TA 2017/2018 ini menunjukkan progres mahasiswa yang luar biasa. Mulai percakapan ringan 2 perawat, film, lagu untuk menghafal kosakata Arab, hingga perkenalan ringan. Sebuah karya dan prestasi yang dahsyat. Potensi luar biasa yang patut dikembangkan.

Ke depan, kita akan mengusahakan terselenggaranya magang di Rumah Sakit Arab sebagai tindak lanjut perkuliahan Bahasa Arab.

Perlahan namun pasti, kita akan terus bergerak. Mohon dukungan dan partisipasi aktif semua pihak, seluruh civitas akademika Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta. Semoga Allah melapangkan jalanNya dan meridlai setiap upaya kita. Nashrun minallah wa fathun qarib. []

Wallahu a'lam

#banggamenjadiunisa

Yogyakarta, 4 Rabiul Awwal 1439 H


Sri Lestari Linawati akrab disapa Lina. Dosen Bahasa Arab Unisa Yogyakarta ini menekuni bahasa Arab di Sastra Arab Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Di sini pula Lina kenal dengan sosok Prof. Baroroh Baried. Psikologi pembelajaran bahasa Arab ditekuninya di Psikologi Pendidikan Islam Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sharing pemikiran ? Email Lina di sllinawati@unisayogya.ac.id atau di no hp/WA 0856.292.8998

Rabu, 03 Mei 2017

KOMUNIKASI IBU DAN ANAK



Oleh : Sri Lestari Linawati

Anak memiliki 4 hak, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh, hak untuk berkembang dan hak untuk berbicara (UU Perlindungan Anak). Karenanya, orangtua memelihara perkembangan janin, merawatnya sejak bayi, dan mendidiknya sejak dini, sebagai implementasi hak hidup, tumbuh dan berkembang. Bagaimana dengan hak berbicara?

Dulu, anak harus mematuhi semua perintah orangtua. Apapun yang orang tua katakan, inginkan, harapkan, harus dipenuhi oleh anak, sama persis sebagaimana yang orangtua katakan, inginkan, harapkan. Jangan pernah sekali-kali anak berani membantah. Yang bisa dilakukan seorang anak hanyalah menuruti saja apapun itu. Itu dulu. Kini, tak serta merta demikian. Jaman telah berubah. Pendidikan mengajarkan bahwa penting mendengarkan suara anak, aspirasi anak. Mengapa? Karena anak memiliki hak berbicara.

“Hari ini ingin makan apa, Sayangku?” tanya sang ibu pada anak balitanya, sebelum berangkat belanja ke pasar. Anak menjawab, “Aku ingin sop bayam dan tempe goreng”. Sepulang belanja, sang ibu mengeluarkan belanjaannya, dibantu sang buah hati. Perlahan sang ibu menyebutkan satu persatu belanjaannya. “Bayam…, wortel…, tauge…, bumbu dapur…, tempe…, tahu...”. Anak pun dengan penuh semangat membantu sang ibu dan menirukan pelan yang disebutkan ibu. “Bayam…, wortel…, tauge…, bumbu dapur…, tempe…, tahu...”. Ibu dan anak pun sudah sibuk di dapur, mulai memetik daun bayam, memotong wortel, mencuci tauge, mengiris bawang merah dan bawang putih, memotong tempe, menggorengnya, hingga menyajikannya di atas meja. Makan bersama dengan seluruh anggota keluarga, menjadi bagian hidup terindah yang tak boleh dilewati.

Begitulah potret sederhana bagaimana membangun komunikasi ibu dan anak yang masih berusia balita. Kehangatan dalam keluarga tak harus menunggu saat liburan sekolah, karena komunikasi bisa dilakukan setiap hari. Kehangatan suasana keluarga tidak harus pergi nonton bioskop, karena aktivitas bersama di rumah pun cukup menjadi tontonan bagi anak. Pun tak harus berlibur ke luar negeri, karena sejenak saat bersama ibu atau ayah cukup memberi arti berlibur bagi anak dari kegiatan bermain bersama teman-temannya. Ada teramat banyak hal yang dapat dilakukan di dalam rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membuat anak merasa dihargai karena pendapatnya didengarkan, diapresiasi dan diaplikasikan. Terjadilah proses saling menghormati dan saling menghargai di dalam keluarga. Hal inilah yang menumbuhkan rasa percaya diri anak.

Makna komunikasi yang kedua bahwa saya sebagai ibu perlu belajar mendengarkan pendapat anak. Belajar mendengar pendapat anak dengan mendengarkan pendapatnya. Saya juga belajar menyatakan harapan saya pada anak. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Sungguh untuk hal ini saya harus belajar dan belajar. 

            “Anakku, ibu ayah meginginkanmu sekolah di pondok pesantren. Pertama, pelajaran sekolah sebagaimana SMP pada umumnya, diberikan di sini. Kedua, shalat dan baca Qur’an dijaga selalu. misalnya. Penting untuk kita, agar kita dekat dengan Allah, agar kita mengetahui tujuan akhir hidup kita. Bagaimana menurutmu?”. Ini komunikasi saat anak mulai masuk tingkat akhir Sekolah Dasar.
          
  Selama anak di pondok pesantren, ibu masih berperan menjalin komunikasi dengan anak. Dengan mematuhi aturan yang telah ditetapkan pondok tentang bagaimana aturan komunikasi boleh dijalin, orang tua harus siap sedia. Juga bagaimana kenyamanan anak dalam menjalin hubungan komunikasi dengan kita. Ada anak yang enggan telpon karena maunya bicara langsung dengan orangtua saat liburan di rumah. Ada anak yang inginnya ditelpon saat anak mendapat jatah giliran menerima telpon, meski sekedar tanya,”Ibu ngapain?”. Ada juga anak yang telponnya sesuka hatinya saat dia menginginkan telpon. Adapun hari libur pondok dan waktu telpon ada yang sabtu, ahad, kamis atau jumat. Sebagai ibu, mustilah siap selalu bila menerima sms anak, “Assalamu’alaikum.. Bagaimana kabar Ibuk? Alhamdulillah aku sehat. Kalau nanti Ibuk ada waktu, telpon ya.. Big hug, Mom..” Wuih.., tentu berbunga hati ini baca sms begini. Secapek apapun, seakan segera terobati. Adapun bila sms berbunyi, “Buk, telpon balik”, ini artinya ibu musti segera menelpon sang buah hati.

            Demikianlah sekilas gambaran upaya-upaya membangun komunikasi antara ibu dan anak. Anak yang menyejukkan mata yang digambarkan dalam Al-Qur’an musti diuraikan maknanya dalam setiap tarikan nafas kita. Bukan semata bacaan doa atau tulisan harapan yang cukup ditempelkan sebagai status. Wallahu a’lam. Semoga para ibu mampu bersabar mewujudkan anak yang berbakti sebagaimana firman Allah Surat Al-Ahqaf ayat 15 “…sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". Amin..

Sabtu, 29 April 2017

QUANTUM PENGELOLAAN KONFLIK, RESOLUSI KONFLIK DAN PERDAMAIAN


*** Lina ***

“Inna lillahi wainna ilaihi rajiun..” Kalimat itulah yang selalu kita ucapkan saat mendengar berita kematian. Kemudian kita melayat dan menanyakan sebab kematiannya. Pada akhirnya memang kita memang meyakini makna kalimat tersebut, “Sesungguhnya hanya bagi Allah (kita hidup) dan sungguh hanya kepada Allah kita akan kembali”. Tradisi pemakaman di daerah Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta ini adalah diputarkan kaset lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dan artinya. Saat takziyah menjadi saat-saat perenungan hakikat asal dan tujuan akhir hidup kita. Dari sebab-sebab kematian, kita menjadi belajar bahwa Tuhan Maha Berkehendak. Kapanpun, di manapun, dengan jalan apapun, kematian itu bisa saja menjemput. Tak selalu menunggu tua, muda pun bisa mati. Tak menunggu kaya, miskin pun bisa mati. Tak menunggu sakit, sehat pun bisa mati. Tak menunggu lapang, sempit pun bisa mati. Artinya, kapanpun dan dimanapun mustilah kita siap dengan kematian. Kapanpun Allah menghendaki kita kembali, mustilah siap senantiasa adanya.

Konflik itu datang, ketika suatu Rabu sore, setahun lalu, Sang Dokter Bedah memberi tahu saya untuk operasi pada Jumat pagi. Gedubrak.. Tentulah satu hal yang tak pernah saya bayangkan. Hla bagaimana mungkin.. Saya merasa sehat dan baik-baik saja. Saya masih bisa beraktifitas dan bekerja. Ke dokter bedah ini pun, karena keputusan cepat yang saya ambil sebelumnya di faskes 1. Dokter di sana mengatakan saya perlu dirujuk ke dokter bedah. Duh.. bagaimana awalnya dan bagaimana akhirnya?

Begini.. inilah kisah saat Allah mengirim saya ke sekolah bernama “Pelatihan Kesakitan”. Saya menyaksikan bagaimana Allah mendidik kita, bagaimana Allah melimpahkan kasih sayangnya pada kita, bagaimana Allah sangat melindungi kita. Bagaimana scenario Allah sangat teliti dalam mengatur hidup dan kehidupan kita. Setelah itu akhirnya saya hanya mampu berserah diri pada Allah. Saya manut saja pada kehendak Allah. Kepasrahan itu bukan taka da daya juang dari kita, sebaliknya, yang namanya kepasrahan itu butuh perjuangan kita yang seoptimal mungkin, yang terbaik yang bisa kita lakukan. Masalahnya, dalam masyarakat kita, dalam budaya masyarakat Indonesia, persoalan social, ekonomi, budaya, politik, keamanan dan hankam mendefinisikan kepasrahan dalam makna sempit. Gagal sedikit, nyerah. Gagal sedikit, lari dari kenyataan. Gagal sedikit, mencari kambing hitam. Duh, hla kambing putih saja ada banyak, mengapa harus mencari kambing hitam?!

Ini persoalan paradigm berfikir yang harus dibenahi. Paradigma berfikir masyarakat kita harus dibangun dalam paradigm tauhid. “Inna lillahi wainna ilaihi rajiun” merupakan sebuah paradigm tauhid. Meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan, Allah pula pelabuhan terakhir kita. Bila sudah sampai di titik ini, Allah awal dan akhir hidup kita, insyaallah jelaslah langkah-langkah yang kita lakukan. Taka da keraguan sedikitpun dalam melangkah. Peran apapun yang kita mainkan di dunia ini, itu kita yakini sebagai peran kekhalifahan kita di muka bumi. Di saat sujud-sujud kita, akhirnya kita pun hanya akan meyakini bahwa kita adalah hambaNya. Tak perlu ada riak kesombongan dalam diri karena kita semata ‘abdun dan khalifah fil ardh. Terus bergerak di muka bumi untuk menjalankan peran kekhalifahan dan senantiasa beribadah kepadaNya. Tri dharma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat) dan catur dharma bagi perguruan tinggi Muhammadiyah/ Aisyiyah( tri dharma PT + bermuhammadiyah) adalah langkah yang musti ditempuh seorang dosen untuk mewujudkankan peran ‘abdun dan khalifah fil ardh. Kegiatan-kegiatannya diukur dengan jalan-jalan yang telah ditentukan. Nah, ruh tauhid itu mustilah mewujud dalam kiprah catur dharma tersebut. Mengapa? Karena bermuhammadiyah hakikatnya adalah berislam, dan berislam itu bertauhid, mengesakan Tuhan Yang Satu: Allah. Ingatlah ketika Luqman berwasiat kepada anaknya, “La tusyriq billah”, jangan sekutukan Allah..

Bagaimana dengan anak didik kita? Pendidikan kita, awal dan akhirnya mustilah menggunakan paradigm tauhid, apapun nama lembaganya. Selama pegangannya tauhid, insyaallah Allah SWT berkenan melindungi, melimpahkan kasih sayangnya, mencukupi semua kebutuhan kita. Kita sehat karena Allah. Kita bekerja karena Allah. Kita mengajukan proposal karena Allah. Kita menulis karena Allah. Kita dinobatkan berprestasi karena Allah. Kita naik jabatan karena Allah. Kita tetap tersenyum dan ringan membantu sesame karena Allah. Pekerjaan datang dan datang juga karena Allah. Wallahu a’lam.      

 (Maret 2017) 

Bu Us, ternyata mahfudzat bukan sekedar hafalan kuliah


***Lina***

Segera kulambaikan tangan saat sebuah bis besar dari arah pertigaan Kartosuro mulai berjalan ke arah kami. Hari masih gelap. Hanya ada lampu kota remang-remang. Bis tetap melaju. Ternyata bis mau masuk garasi, maka tak hendak menaikkan penumpang.  Tampak lagi sebuah bis besar dari belokan itu, kulambaikan lagi tanganku. Aha.. rupanya bis pariwisata. Maklumlah hari masih berselimut gelap, jadi tulisan tujuan bis tak bisa segera terbaca. Sesaat kemudian, lewat lagi sebuah bis besar. Masih saja aku berharap kondektur membukakan pintu untukku, karena aku harus mengajar jam 08.00 nanti. Alhamdulillah, kali ini pintu bis benar-benar terbuka untukku. Terima kasih, ya Rabb.

Bis berjalan biasa saja. Tidak terlalu cepat, pun tak terlalu lambat. Sesekali berhenti, menaikkan penumpang. Tampak wajah berseri penumpang yang akhirnya bisa masuk bis. Kali ini aku sangat menikmati jalannya bis, meski beberapa kali berhenti untuk menaikkan penumpang. Kuperkirakan masih cukup waktuku untuk bisa sampai kampus. Jangan sampai aku tidak masuk kerja, bisa susah untuk mencari jadwal penggantinya. Pun waktu masih pagi buta. Para penumpang itu hendak menuju tempat tertentu dan berharap bis mampu mengantarkannya ke tujuan mereka. Alangkah mulianya ikhtiar awak transportasi. Mereka mengatur jadwal sedemikian rupa, agar mampu hidup dan tentu untuk membantu pencapaian tujuan para penumpang.

Aku jadi teringat pada kata mutiara yang diajarkan saat studi S1,

خَيْرُ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً وَأَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia itu, adalah yang terlebih baik budi pekertinya dan yang lebih bermanfaat bagi manusia”.

Kalau pak sopir, kondektur dan segenap awak bis bersungguh-sungguh mengurus masalah transportasi agar dapat membantu pencapaian tujuan tiap orang, kiranya seperti itulah pentingnya orang belajar, berorganisasi dan meningkatkan kapasitas diri dan organisasi. Ketika bis tak lagi lewat, maka susah masyarakat menuju pasar, sekolah atau lainnya.

Ketika kita sekolah, maka aka nada banyak peluang bagi orang lain untuk terbantu atas sumbangsih kita pada kemajuan ilmu. Di manapun kita siap diminta berhenti para penumpang pembelajar yang berniat menuju tujuan perjalanan hidupnya.

Lembaga pendidikan ibarat kumpulan bis. Melakukan pengajaran, sebagaimana bis memberikan jasa transportasi. Yang difikirkan oleh awak bis adalah bagaimana bisnya bisa memberikan layanan terbaik kepada para penumpang. Agen tiket. Agar tahu jam keberangkatan dan jam kedatangan di tempat tujuan. Karenanya penumpang dapat memperkirakan agenda selanjutnya, dana pa pula yang harus dipersiapkan selama perjalanan. Harganya relative tetap, dan jelas, tidak berubah setiap saat semaunya kondektur dan tanpa bukti pembayaran. Maka diaturlah oleh pengelola bis: armada bis ada sejumlah berapa, sopirnya siapa saja, kndekturnya siapa saja, siapa yg tugas jaga tiket, siapa yg tugas membersihkan bis agar bis tetap dalam keadaan bersih dan nyaman, selamat.

Demikian pula pendidikan. Ketika mengorganisir diri, sudah selayaknya belajar dari layanan transportasi. Lembaga pendidikan mempersiapkan tenaga SDM yang akan mengendalikan, mengurus, merawat kemanusiaan. Maka orang perlu belajar dan belajar. Orang perlu pula memberikan layanan terbaik kepada setiap anak didiknya, membuatnya mengerti apa yang mereka pelajari. Di sinilah pentingnya guru mengajarkan pada anak didik tentang kebermanfaatan ilmu yang sedang dipelajarinya.

Belajar membaca Al-Qur’an misalnya. Kebermanfaatan membaca Al-Qur’an tidak serta-merta mencetak da’i kondang, atau ahli tafsir Qur’an, atau  mencetak ahli lajnah pentashih Qur’an. Bukan itu saja. Masih ada banyak sisi-sisi Al-Qur’an yang masih urgen dan strategis  kita ajarkan kepada anak didik, sejak dalam kandungan, usia dini, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi, pasangan keluarga, hingga lansia. Mustilah diorganisir dengan sebaik-baiknya tiap tingkatan itu dalam hal manajemennya, tentu agar peserta didiknya dapat terlayani dengan baik. Dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai makhraj dan tajwidnya, ada kesediaan dan motifasi untuk membaca arti dan terjemahnya, dapat memahami kandungan isinya Al-Qur’an.

Lembaga pendidikan yang senantiasa mengupayakan tercapainya tujuan para penumpangnya, yaitu peserta didiknya, kebermanfaatan yang dapat diraihnya, insyaallah Allah berikan padanya kehidupan yang baik, pahala yang lebih baik daripada apa yang telah diupayakannya (An-Nahl : 97)


مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ  

“Siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (16: 97)

Penting bagi lembaga pendidikan mengatur jam keberangkatan dan jam tiba, saat mulai belajar dan kapan mengakhirinya, menyusun guru siapa yang akan bertugas mengajar, siapa asisten guru yang bertugas mempersiapkan segenap peralatan yang diperlukan selama pengajaran, siapa yang bertugas membersihkan ruang kelas dan kamar mandi, memastikan ruang kelas bersih dan nyaman untuk pembelajaran. Bagaimana pula sikap dan perilaku ‘pelayan-pelayan’ pendidikan dalam memperlakukan peserta didik. Tentu mustilah baik dan menyenangkan, dapat menjadi teladan, sebagaimana pak sopir dan kondektur mustilah ramah kepada setiap penumpangnya. Bukan sebaliknya, melakukan ancaman dan penuh tekanan pada anak didik, dengan dalih apapun. Agama hadir untuk membebaskan jiwa manusia untuk menghadapkan diri hanya pada Allah Sang Pencipta. Dari-Nya kita hadir di bumi, pada-Nya jua kita kan kembali.

Dengan demikian, guru perlu diupayakan kesejahteraannya, dijamin kenyamanannya dalam mengajar. Dengan apa? Bukan semata dari lembaran rupiah, namun juga lingkungan dan suasana yang menggairahkan budaya kerja, membuka kran-kran studi lanjut bagi para guru, baik memanfaatkan peluang beasiswa yang mensyaratkan penguasaan Bahasa Inggris, maupun koordinasi-koordinasi internal yang mencerahkan dan mencerdaskan para guru. Bukan semata merampungkan tugas administrative kependidikan, meski itupun menyita cukup banyak energy guru.


Guru, sebagaimana sopir, mustinya mempersilakan kepada anak didik untuk turun di pemberhentian mana pun. Tidak bisa sopir memaksa semua penumpang untuk turun di pemberhentian terakhir tujuan perjalanan. Dalam konteks inilah, setiap lembaga pendidikan, di tingkat manapun, perlu melakukan pembenahan dan refleksi layanannya. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 29 April 2017

Selasa, 28 Maret 2017

Di Masa Tua, Dia Terus Berkarya

gambar: ilustrasi; sumber: ondosupriyanto.blogspot.co.id


oleh: Sri Lestari Linawati


Pagi ini aku bermaksud berangkat pagi-pagi agar bisa ikut kegiatan senam aerobic khusus ibu-ibu yang diselenggarakan oleh kampus. Rencana tinggal rencana. Ternyata pagi ini saya harus mengantar motor ke bengkel karena ahad bengkel libur. Ini perlu saya lakukan agar senin yang dengan jadwal full sejak pagi hingga malam, dari kampus satu ke kampus terpadu, dapat berjalan dengan lancar. Akhirnya saya putuskan untuk naik sepeda federal menuju kampus. 
Anak kami yang sedang olahraga di sekolahnya melambaikan tangannya. Senang melihatnya ceria penuh semangat. Menyusuri jalan-jalan kampung dengan aliran sungai nan gemericik, bunga-bunga berwarna-warni meliuk diterpa angina sepoi-sepoi seolah melambaikan ucapan “selamat berkarya…!”, melihat Pak Tani menyiangi rumput di hamparan sawahnya, menjadi pemandangan indah untuk memulai aktivitas hari ini. Bila telah sampai di titik ini, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Kebetulan di jalan itu ada seorang ibu yang tengah menerangkan jalan kepada seorang bapak tua yang tengah memuat tumpukan besek. Spontan saya tanya, “Hendak kemanakah, Bu?” Spontan pula ibu tersebut menjawab, “(beliau bapak tua itu) Mau ke pasar Tlogorejo”. Segera saya ajak serta sang bapak tua, “Monggo sareng kulo, Pak”. Bapak tua itu pun segera mengikuti di belakang”. Alhamdulillah, di antara waktuku masih Allah berikan kesempatan untuk menunjukkan jalan kepada sang bapak tua penjual besek. Hampir sampai pasar, kutanya asalnya, “Saking Mijen, Godean.. Ibu badhe tindak sekolah?” “Nggih.”, jawabku. Di pertigaan kutunjukkan jalan ke kanan menuju pasar Tlogorejo, dan beliau dengan wajah sumringah, turun dari sepedanya dan berhenti sejenak kemudian berkata padaku, “Maturnuwun, Bu..” 
Subhanallah.. Alhamdulillah.. Kukayuh lagi sepedaku ke kampus yang tak jauh dari rumahku. Mengingat sang bapak tua dari Mijen itu mengingatkanku pada saudara-saudaraku di kampung sana. Sebuah besek itu hasil karya tangan-tangan trampil yang bergerak pagi, siang, sore dan malam.. Sejak menebang pohon bambu, memotongnya, menyisik, menjemur dan mengeringkannya, menganyamnya satu-persatu hingga diperoleh setumpuk besek yang siap diantar ke pasar oleh sang suami. Allahu akbar..
Tak terasa tlah sampai aku di kampus.. Kulihat para mahasiswa calon-calon tenaga kesehatan itu menyimpan senyum mereka dan menghafalkan langkah-langkah perawatan pasien: calon perawat, calon fisioterapis, calon bidan dan calon bidan pendidik. Air mata mengalir membasahi pipi. Bapak tua itu mengajarkan padaku untuk terus berkarya dan berkarya, betapapun usia telah beranjak kian tua.. Kepada para mahasiswa itu hendaklah terus kubagikan semangat tauhid, meyakini keagungan semesta. Teruslah merenda asa, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kaya, Maha Kuasa.. Allahu akbar.. Allahu akbar.. Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Sabtu, 11 Maret 2017

Indonesia Pusat Peradaban Islam Saat Ini



gambar: wikimedia.org


Oleh: Sri Lestari Linawati

“Pada abad ke-10, pusat peradaban Islam adalah Baghdad. Sekarang, Indonesia Pusat Peradaban Islam”. Ini adalah pernyataan paling menarik yang disampaikan Dr. Aoki Takenobu dan Dr. Akutsu Masayuki dari Chiba University Jepang, Kamis (9/3/17), di Hall 4 Baroroh Baried, Gedung A Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta.

Studium Generale “Considering Indonesian Islamic Society from Nursing Care Field in Contempary World” ini dihadiri sekitar 400 mahasiswa dari 13 prodi yang ada di UNISA Yogyakarta. Di era Meiji, Jepang selama ratusan tahun menerima modernisasi barat dengan tetap mempertahankan tradisi Jepang seperti nilai-nilai agama dan keluarga.

Namun saat ini Jepang mengalami krisis. Anak-anak muda mulai individualis, mulai kehilangan rasa hormat pada orang tua, mulai kehilangan orientasi hidup, angka bunuh diri mencapai 30.000/th, orangtua yang renta tak lagi dipedulikan. Memang benar Jepang maju dalam teknologi, kedisiplinan dan semangat kerja, itu kelebihan kita. Namun untuk nilai-nilai budaya yang mendisiplinkan nilai-nilai moral, Jepang perlu belajar kepada masyarakat muslim Indonesia.

Menurut kami, pusat peradaban Islam bukan lagi di Baghdad atau Timur Tengah. Bagi kami, pusat peradaban Islam ada di Indonesia. Indikasinya, misalnya hal memperbaiki lingkungan hidup. Sampah dipilah, didaur ulang. Hal ini diambil dari nilai-nilai agama islam, maka kemudian ada istilah “Shodaqoh sampah” yang diyakini sebagai jalan untuk masuk surga. Artinya, ajaran islam bisa dihidupkan dalam kehiduan sehari-hari.
Mengapa Indonesia merupakan pusat peradaban Islam saat ini? Menurut kami karena 2 faktor, yaitu:

1.
Faktor Sosial
Penduduk Indonesia terdiri dari beraneka agama, suku, budaya dan bahasa. Di antaranya ada suku Minang, Batak, Madura, Jawa, Bugis dan sebagainya. Demikian data statistic yang ada. Agama ada Islam, Hindu, Budha dan itu diintegrasikan dalam satu negara “Indonesia”. Ini mencerminkan adanya persatuan dan kesatuan Indonesia.

2.
Pendidikan
“Angka buta huruf hampir 0 %”, kata Dr. Aoki. Hampir tidak ada orang di Indonesia yang tidak bisa membaca, semuanya bisa membaca. (Untuk hal ini tampaknya saya masih mempertanyakan. Faktanya, masih banyak warga Indonesia yang masih perlu baca tulis).

Dr. Aoki dan Dr. Akatsu telah melakukan riset Islam di Indonesia ini sekitar 5 tahun. Beliau melihat pentingnya integrasi sains dan agama. Beliau memulai pembahasannya dari pemahaman Islam di Jepang dan mengakhirinya dengan menekankan tugas ini kepada muslim Indonesia. “Tugas saudara-saudara sangat penting, yaitu mensosialisasikan Islam, agar masyarakat di luar Indonesia dapat menemukan solusi mengatasi ‘jaman edan’ yang dihadapinya. Harus belajar dari Indonesia.”

“Are you ready for Islam Berkemajuan in Nursing Field?” ditanyakan tiga kali oleh Dr. Aoki, seolah memastikan kesediaan muslim Indonesia. Pemerintah Jepang punya undangan kesempatan bekerja sambil belajar, manfaatkan. Muslim Indonesia memiliki KEKUATAN AGAMA ISLAM YG SANGAT KUAT.

Saya kira ini adalah petunjuk Allah bagi kita, tenaga kesehatan muslim Indonesia. Dari seorang doctor Jepang, kita disadarkan untuk menguatkan kembali nilai-nilai keyakinan Islam di bidang kesehatan dan kehidupan. Islam sangat menganjurkan pentingnya kebersihan bagi perwujudan kesehatan. Persoalan-persoalan kesehatan, pada akhirnya berakar pada persoalan agama dan keyakinan. Bila demikian halnya, penting dan strategis memaknai kembali ikon “Profesional Qur’ani”, professional yang terinsiprasi Al-Qur’an. Wallahu a’lam.



dipublish juga di www.kabarnusa.com


Jumat, 10 Maret 2017

Menulis Memerdekakan Jiwa...







Oleh Sri Lestari Linawati


Setelah seminggu banyak menghabiskan waktu di luar rumah, hari Ahad ini saya ingin menghabiskan waktu di rumah. Usai membaca tulisan teman-teman SPN, pagi tadi saya berkebun. Memetik daun kenikir, daun mlinjo, beberapa buah mlinjo yang telah merah, markisa, talok merah ranum, dan daun singkong, sambil mandi cahaya mentari pagi. Angin berdesir pelan.

Beberapa kupu-kupu beterbangan kian-kemari. Kicauan burung pipit menunjukkan kegembiraannya pada semesta. Capung kehijauan yang terbang perlahan, menggenapi indahnya alunan pagi.

Alhamdulillah… Ternyata banyak juga hasil kebun yang kudapatkan: seember daun kenikir, 15 buah markisa, segenggam buah mlinjo, segenggam daun mlinjo, 3 buah jambu biji dan seikat daun singkong. Lumayan buat persediaan sayur dan buah.. juga bisa cuci mata, melihat sejenak keagungan alam, melepas sejenak rutinitas kerja yang seakan tiada habisnya, dan menata hati yang senantiasa gundah gulana tuk bisa pahami pilkada Jakarta putaran kedua, Seorang saja penista Qur’an, memporak-porandakan wajah Indonesia.

Sambil menanti Sang Suami pulang kerja, kunikmati talok langsung dari pohon. Manis. Subhanallah.. Tentulah Allah Sang Pencipta yang menghendaki hasil kebun ini indah sedemikian rupa. Ini baru di dunia… Bagaimanakah indahnya surga kelak..? Yang digambarkan dalam Al-Qur’an betapa amat sangat indahnya... Semua yang Allah janjikan, pasti tersaji.. Allahu akbar.. Allahu akbar.. Allahu akbar..

Aku masuk rumah dan mulai menelpon. Anak kedua kami yang sekolah di SMA Trensains Sragen, Kiysa, miscall. Wah, ternyata nomor simpatiku tidak bisa tm on. Sudah kuhubungi temanku untuk beli pulsa, eh…belum masuk juga. Lalu kucoba telpon anak kami di nomor hp kedua layanan sekolah untuk santri (ada dua nomor,. Terima kasih, Asatidz, yang masih mengizinkan kami orangtua menyambung ikatan ukhuwah dengan buah hati kami).

Di nomor indosat itu nyambung, namun anakku tidak ada... “Dia baru keluar beli pulsa, Tante,” suara Anisa teman anak kami. Sampai sini, saya belajar sabar. Tidak semua yang kita inginkan, bisa terpenuhi seketika. Dulu waktu kuliah S1 diajarkan tentang komunikasi. Komunikasi akan berjalan ketika ada komunikan dan komunikator. Hla musti sabarnya orang tua nelpon anak di pondok, adalah menunggu momentum bertemunya komunikator dan komunikan, antara kita dan sang anak.

“Dhog… Dhog… Dhog…” begitu suara itu terdengar dari balik jendela. Ternyata pemilik rumah yang kami tempati sedang menebang pohon talok yang tumbuh dengan lebatnya di kanan depan rumah kami. Saya putuskan keluar sekedar untuk berempati. Interaksi dengan tetangga itu perlu dibangun sedemikian rupa agar terbangun rasa saling percaya.

Tak tega melihat peluh Mbah Sugi bercucuran, kubantu memindahkan ranting-ranting yang telah dipangkas oleh mas Agus dan mas Damiri. Ketika kutanya kenapa ditebang, mbah Sugi menjawab, “Kengeng kabel, mbak.” (Bahasa Jawa, artinya mengenai kabel yang menghubungkan rumah tetangga sebelah dengan rumah kami).

Pohon talok kecil kesukaan anak pertama kami itu, ternyata kini tumbuh besar dan amat lebat. Nala, anak pertama kami memang menyukai tanaman. Tampaknya dia cenderung memiliki kecerdasan naturalis. Bahkan dia mampu bertahan dan menyelesaikan pendidikan enam tahun di SMP-SMA MBS Prambanan Yogyakarta karena di sekolah itu ada pohon talok.

Hahaha.. Waktu istirahat atau senggang, dia akan menikmati buah talok. Jadi yach… begitu sederhana indicator kenyamannya di pondok: talok. Bagaimana baju seragamnya yang coreng-moreng kena getah pohon talok, bisa dibayangkan lah.. Karena kami ingin menerima anak kami apa adanya, getah di seragamnya pun musti kami terima sebagai pembayarannya. Yang penting dia bahagia dan bisa mengikuti pembelajaran, sudah. Biarlah dia menjadi pribadi sesuai dengan namanya, “Ainal Alami”, pengetahuan yang holistic. Seberapapun ilmu yang dimiliki, semoga ilmunya integral, menyeluruh, utuh di dalam dirinya.

Memindahkan ranting-ranting talok itu, yang membuat gembrobyos juga, hehe.. mengajarkan padaku bahwa sekecil apapun ilmu yang kita miliki, ketika kita rawat, perjalanan waktu membuatnya tumbuh besar dan kokoh, tak gampang orang merobohkannya, memindahkannya pun perlu berpeluh-peluh. Hargai ilmu yang Anda miliki, syukuri, sekecil apapun.

Setelah memindahkan pula ranting-ranting rambutan di depan rumah sebelah kanan, saya masuk, melanjutkan lagi menghubungi anak kedua kami, “Kiysa”. Waduh, ternyata pulsa simpati belum masuk juga. Nomor im3 tak ada yang mengangkat. Akhirnya saya tinggal belanja bawang dan Lombok di warung tetangga. Bertemulah saya dengan penjual jamu langganan saya sejak saya punya anak pertama. Jamu daun sirih, paitan dan kunir asem menyegarkan tenggorokan.

Anehnya, penjual tak pernah mau menerima uang pembelian saya. Anehnya lagi, yang saya pelajari dari diri Mbak Yani penjual jamu yang berasal dari Klaten ini, dia akan libur jualan dan pulang ke kampungnya bila dia rewang tetangganya yang punya hajat, baik mantenan, sripah, lahiran dsb. Sungguh orang yang terlewat dari pemikiran ekonomi modern, yang harus kerja dan kerja bila ingin kaya.

Dari penjual jamu ini saya belajar tentang hakikat kekayaan. Kaya itu relative, tergantung dari mana kita memandangnya. Bila kaya itu identic dengan harta, maka orang akan kerja dan kerja dan semua dihitung dengan uang. Bila kaya itu adalah harta dan nilai luhur agama, maka yang dilakukan adalah kerja dan menjalankan ibadah. Itulah hidup, hidup itu pilihan. Bila kita telah memutuskan “Islam is my way of live”, maka sudah selayaknyalah kita menjalani pilihan Islam sebagai jalan hidup. Hidup di dunia dan hidup di akhirat.

Menjelang matahari naik, barulah pulsa masuk. Hp low bat.. Pindah hp lainnya (Duh ribet ya..) Alhamdulillah, anak kami baik-baik saja. “Nduk, maaf Ibu belum bisa jenguk. Insyaallah 5 Maret nanti, sekalian ngantar adikmu tes seleksi PSB SMA Trensains”, dengan hati-hati saya sampaikan hal itu padanya. Maklumlah, sepertinya dia mirip ibunya yang sensitive dan suka nangis, hihi.. Mungkinkah itu melekat pada diri perempuan? Wallahu a’lam. Saya coba tegar mendengar suara dari balik telepon, apapun jawabannya. “Ora popo, Bu, kene yo lagi akeh kegiatan” (Bahasa Jawa, artinya, “Nggak apa-apa, Bu, di sini juga baru banyak kegiatan”), jawabnya.

“Alhamdulillah,” ucapku lega. Tampak anak kami puas sudah bisa berbincang dengan saya, ayahnya dan adiknya. Di titik-titik seperti inilah saya merasakan hadirnya Allah dalam kehidupan kami. Di saat banyak orang tua dipusingkan oleh kepentingan anaknya, namun kami bisa melewatinya tanpa halangan berarti. Kerja, bukanlah semata untuk mendapatkan uang untuk membayar SPP anak-anak, namun kerja sebagai ibadah, terkadang musti berhadapan dengan kepentingan anak yang mau ini dan itu.

Mutiara berikutnya yang kami rasakan hari ini adalah saat anak keempat kami, Yannas, merampungkan cuci piring tanpa ‘membantah’ dan segera shalat ashar setelah mendengar adzan. Alhamdulillah, ya Rabb.. Dan saat saya berusaha merampungkan tulisan ini, saya mendapat kiriman foto anak ketiga kami, Dihan, dari Ustadz Muttaqin, gurunya di MTs Muhammadiyah Kudus. Tampak di foto itu Dihan sedang mengikuti lomba 4 bahasa. Subhanallah.. Subhanallah.. Alhamdulillah…

Ada teramat banyak karunia Allah dalam kehidupan kita yang mustinya mampu kita syukuri. Tak ada alasan untuk menagis, mengeluh dan bersedih hati. Allah telah menetapkan kadar segala sesuatu. Semua tugas yang menumpuk itu, kerjakan satu persatu, dengan senantiasa memohon dan berserah diri pada Allah. Pertanyaannya kemudian, apakah hubungannya tulisan ini untuk setoran Quantum Keteladanan dan Pencerahan SPN bulan Februari 2017? Saya mampu menulis itu semua karena motivasi yang ditaburkan tiap hari oleh teman-teman SPN. Sebagai anggota SPN yang baru bergabung sejak Desember 2016, ada banyak hal yang belum saya fahami. Yang terjadi, beberapa kali saya salah atau kurang tepat dalam berinteraksi di dalam grup WA SPN.

Menulis, sudah lama saya impikan. Bahkan saat kuliah S1 Sastra Arab UGM sempat jadi panitia Pelatihan Jurnalistik dalam rangkaian kegiatan RDK, Ramadhan di Kampus. Namun entah bagaimana, rasanya saya dilanda ketakutan luar biasa. Saya takut salah, takut membuat orang tak berkenan, takut entah apa lagi. Apalagi di SPN yang saya kenal Cuma Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. penguji tesis saya yang memberikan support agar tesis saya diterbitkan. Impian menulis seakan mendapat angina segar, namun bagaimana caranya… Di grup WA SPN, hanya beberapa kali saja saya komentar, selebihnya banyak sebagai pengamat dan penikmat saja (wei, curang ya…). Hm, mungkin saya tipe orang yang tak mudah percaya. Hayo kenapa? Saya pun tak bisa menjelaskannya.

Hari demi hari berlalu. Tulisan demi tulisan di grup SPN telah saya baca. Komentar pun keluar biasa saja dari para anggota. Bukan tanpa gejolak sih, namun yang lebih pas adalah bahwa SPN adalah –sesuai perkenalannya yang saya baca pertama kali- kumpulan para penulis yang ingin terus menulis dan menulis. Apapun yang dibicarakan, ya menulis.

Komentarnya, ya tentang menulis. Kalau pun ada sedikit ‘perdebatan’, ya soal menulis. Tiap anggota selalu memberi support kepada lainnya untuk mampu menulis, untuk berani menulis. Ini saya rasakan betul. Ketika itu pertama kali setor tulisan. Mana laptop ngadat dan lelet.. Sebagai manusia biasa, rasanya hampir putus asa. Sempat terfikir, “Nyerah saja deh.. ikut bulan depan kan boleh…” Alhamdulillah saya sempat membaca tulisan di WAG SPN sambil menunggu laptop on kembali.

Tulisan-tulisannya saat itu, dan sampai kini, memampukan kita, meyakinkan kita bahwa kita mampu menulis, bukannya memaki dan memarahi karena tulisan kita belum jadi. Duh, legaaa sekali bisa setor tulisan pertama, 31 Desember 2016 jam 23.57 WIB. Haha… 2 menit sebelum deadline! Bahkan setelah tulisan terkirim, laptop off kembali, hingga sekitar 25 hari berikutnya. Ampyuuun…

Ketika saya mencoba memberanikan diri untuk menulis, apapun yang saya fikirkan saat itu, dan saya share di WAG SPN, teman-teman langsung merespon, tanpa menunggu instruksi, karena memang tidak ada hirarki. Padahal anggotanya para Profesor, Doktor, namun tak ada seorang pun beliau yang merasa paling sakti dan paling berkuasa. Jadi, unik SPN itu. The real. Nyata. Apa yang diimpikan itulah yang dilakukan. Sebagai sosok pribadi, mungkin istilah yang tepat adalah pribadi yang satu dalam kata dan perbuatan. Inilah yang menarik bagi saya.

Dari segi sudut pandang, tak ada arogansi laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki dan perempuan dapat berinteraksi secara wajar dengan tetap berada dalam norma agama. Karenanya, saya melihat anggota SPN itu memiliki kepribadian yang istimewa. Ada mas Husnaini, mas Adit, Pak Hernowo, Dr. Viky, Dr. Choirul Mahfudz, Bu Rita, mbak Hiday, Pak Didi, Pak Emcho, Pak Agung Kuswantoro, Pak Ngainun Naim, Kyai Masruri Abd Muhit, Pak Abdul Rasyid, Bu Abdisita, Pak Adzi, Pak Arfan Muammar, Bu Dewi Istika, mas Febry, mbak Helmi Yani, manten anyar Bu Hidayatun, Ir. Zulfa, Pak Makmun, Bu Amie, dan masih banyak lagi yang belum bisa saya hafal.

SPN memberanikan orang untuk menulis, menulis dengan lantang, dengan jiwa lapang, dengan jiwa besar. Semua dalam koridor berfikir positif dan husnudzan. Tak perlu ada yang disembunyikan, karena semua sifatnya transparan. Apa yang diimpikan, digariskan dalam kebijakan organisasi, ya itulah pula yang dilakukan. Wallahu a’lam. Semoga selamanya SPN dapat menjaga garis perjuangannya ini. Menguatkan jiwa dan semangat menulis. Dengan menulis, akan membuka pintu pengembangan ilmu. Secara riil, zaman telah berubah dan itu menuntut kajian ilmu. Dengan kajian, ilmu akan berkembang dan kian kokoh. Dengan kekuatan ilmu, kita bangun Indonesia Berkemajuan. Amin.

Yogyakarta, 19 Februari 2017


dipublish juga di kabarnusa.com dan rumahbacakomunitas.org