Jumat, 10 Maret 2017

Menulis Memerdekakan Jiwa...







Oleh Sri Lestari Linawati


Setelah seminggu banyak menghabiskan waktu di luar rumah, hari Ahad ini saya ingin menghabiskan waktu di rumah. Usai membaca tulisan teman-teman SPN, pagi tadi saya berkebun. Memetik daun kenikir, daun mlinjo, beberapa buah mlinjo yang telah merah, markisa, talok merah ranum, dan daun singkong, sambil mandi cahaya mentari pagi. Angin berdesir pelan.

Beberapa kupu-kupu beterbangan kian-kemari. Kicauan burung pipit menunjukkan kegembiraannya pada semesta. Capung kehijauan yang terbang perlahan, menggenapi indahnya alunan pagi.

Alhamdulillah… Ternyata banyak juga hasil kebun yang kudapatkan: seember daun kenikir, 15 buah markisa, segenggam buah mlinjo, segenggam daun mlinjo, 3 buah jambu biji dan seikat daun singkong. Lumayan buat persediaan sayur dan buah.. juga bisa cuci mata, melihat sejenak keagungan alam, melepas sejenak rutinitas kerja yang seakan tiada habisnya, dan menata hati yang senantiasa gundah gulana tuk bisa pahami pilkada Jakarta putaran kedua, Seorang saja penista Qur’an, memporak-porandakan wajah Indonesia.

Sambil menanti Sang Suami pulang kerja, kunikmati talok langsung dari pohon. Manis. Subhanallah.. Tentulah Allah Sang Pencipta yang menghendaki hasil kebun ini indah sedemikian rupa. Ini baru di dunia… Bagaimanakah indahnya surga kelak..? Yang digambarkan dalam Al-Qur’an betapa amat sangat indahnya... Semua yang Allah janjikan, pasti tersaji.. Allahu akbar.. Allahu akbar.. Allahu akbar..

Aku masuk rumah dan mulai menelpon. Anak kedua kami yang sekolah di SMA Trensains Sragen, Kiysa, miscall. Wah, ternyata nomor simpatiku tidak bisa tm on. Sudah kuhubungi temanku untuk beli pulsa, eh…belum masuk juga. Lalu kucoba telpon anak kami di nomor hp kedua layanan sekolah untuk santri (ada dua nomor,. Terima kasih, Asatidz, yang masih mengizinkan kami orangtua menyambung ikatan ukhuwah dengan buah hati kami).

Di nomor indosat itu nyambung, namun anakku tidak ada... “Dia baru keluar beli pulsa, Tante,” suara Anisa teman anak kami. Sampai sini, saya belajar sabar. Tidak semua yang kita inginkan, bisa terpenuhi seketika. Dulu waktu kuliah S1 diajarkan tentang komunikasi. Komunikasi akan berjalan ketika ada komunikan dan komunikator. Hla musti sabarnya orang tua nelpon anak di pondok, adalah menunggu momentum bertemunya komunikator dan komunikan, antara kita dan sang anak.

“Dhog… Dhog… Dhog…” begitu suara itu terdengar dari balik jendela. Ternyata pemilik rumah yang kami tempati sedang menebang pohon talok yang tumbuh dengan lebatnya di kanan depan rumah kami. Saya putuskan keluar sekedar untuk berempati. Interaksi dengan tetangga itu perlu dibangun sedemikian rupa agar terbangun rasa saling percaya.

Tak tega melihat peluh Mbah Sugi bercucuran, kubantu memindahkan ranting-ranting yang telah dipangkas oleh mas Agus dan mas Damiri. Ketika kutanya kenapa ditebang, mbah Sugi menjawab, “Kengeng kabel, mbak.” (Bahasa Jawa, artinya mengenai kabel yang menghubungkan rumah tetangga sebelah dengan rumah kami).

Pohon talok kecil kesukaan anak pertama kami itu, ternyata kini tumbuh besar dan amat lebat. Nala, anak pertama kami memang menyukai tanaman. Tampaknya dia cenderung memiliki kecerdasan naturalis. Bahkan dia mampu bertahan dan menyelesaikan pendidikan enam tahun di SMP-SMA MBS Prambanan Yogyakarta karena di sekolah itu ada pohon talok.

Hahaha.. Waktu istirahat atau senggang, dia akan menikmati buah talok. Jadi yach… begitu sederhana indicator kenyamannya di pondok: talok. Bagaimana baju seragamnya yang coreng-moreng kena getah pohon talok, bisa dibayangkan lah.. Karena kami ingin menerima anak kami apa adanya, getah di seragamnya pun musti kami terima sebagai pembayarannya. Yang penting dia bahagia dan bisa mengikuti pembelajaran, sudah. Biarlah dia menjadi pribadi sesuai dengan namanya, “Ainal Alami”, pengetahuan yang holistic. Seberapapun ilmu yang dimiliki, semoga ilmunya integral, menyeluruh, utuh di dalam dirinya.

Memindahkan ranting-ranting talok itu, yang membuat gembrobyos juga, hehe.. mengajarkan padaku bahwa sekecil apapun ilmu yang kita miliki, ketika kita rawat, perjalanan waktu membuatnya tumbuh besar dan kokoh, tak gampang orang merobohkannya, memindahkannya pun perlu berpeluh-peluh. Hargai ilmu yang Anda miliki, syukuri, sekecil apapun.

Setelah memindahkan pula ranting-ranting rambutan di depan rumah sebelah kanan, saya masuk, melanjutkan lagi menghubungi anak kedua kami, “Kiysa”. Waduh, ternyata pulsa simpati belum masuk juga. Nomor im3 tak ada yang mengangkat. Akhirnya saya tinggal belanja bawang dan Lombok di warung tetangga. Bertemulah saya dengan penjual jamu langganan saya sejak saya punya anak pertama. Jamu daun sirih, paitan dan kunir asem menyegarkan tenggorokan.

Anehnya, penjual tak pernah mau menerima uang pembelian saya. Anehnya lagi, yang saya pelajari dari diri Mbak Yani penjual jamu yang berasal dari Klaten ini, dia akan libur jualan dan pulang ke kampungnya bila dia rewang tetangganya yang punya hajat, baik mantenan, sripah, lahiran dsb. Sungguh orang yang terlewat dari pemikiran ekonomi modern, yang harus kerja dan kerja bila ingin kaya.

Dari penjual jamu ini saya belajar tentang hakikat kekayaan. Kaya itu relative, tergantung dari mana kita memandangnya. Bila kaya itu identic dengan harta, maka orang akan kerja dan kerja dan semua dihitung dengan uang. Bila kaya itu adalah harta dan nilai luhur agama, maka yang dilakukan adalah kerja dan menjalankan ibadah. Itulah hidup, hidup itu pilihan. Bila kita telah memutuskan “Islam is my way of live”, maka sudah selayaknyalah kita menjalani pilihan Islam sebagai jalan hidup. Hidup di dunia dan hidup di akhirat.

Menjelang matahari naik, barulah pulsa masuk. Hp low bat.. Pindah hp lainnya (Duh ribet ya..) Alhamdulillah, anak kami baik-baik saja. “Nduk, maaf Ibu belum bisa jenguk. Insyaallah 5 Maret nanti, sekalian ngantar adikmu tes seleksi PSB SMA Trensains”, dengan hati-hati saya sampaikan hal itu padanya. Maklumlah, sepertinya dia mirip ibunya yang sensitive dan suka nangis, hihi.. Mungkinkah itu melekat pada diri perempuan? Wallahu a’lam. Saya coba tegar mendengar suara dari balik telepon, apapun jawabannya. “Ora popo, Bu, kene yo lagi akeh kegiatan” (Bahasa Jawa, artinya, “Nggak apa-apa, Bu, di sini juga baru banyak kegiatan”), jawabnya.

“Alhamdulillah,” ucapku lega. Tampak anak kami puas sudah bisa berbincang dengan saya, ayahnya dan adiknya. Di titik-titik seperti inilah saya merasakan hadirnya Allah dalam kehidupan kami. Di saat banyak orang tua dipusingkan oleh kepentingan anaknya, namun kami bisa melewatinya tanpa halangan berarti. Kerja, bukanlah semata untuk mendapatkan uang untuk membayar SPP anak-anak, namun kerja sebagai ibadah, terkadang musti berhadapan dengan kepentingan anak yang mau ini dan itu.

Mutiara berikutnya yang kami rasakan hari ini adalah saat anak keempat kami, Yannas, merampungkan cuci piring tanpa ‘membantah’ dan segera shalat ashar setelah mendengar adzan. Alhamdulillah, ya Rabb.. Dan saat saya berusaha merampungkan tulisan ini, saya mendapat kiriman foto anak ketiga kami, Dihan, dari Ustadz Muttaqin, gurunya di MTs Muhammadiyah Kudus. Tampak di foto itu Dihan sedang mengikuti lomba 4 bahasa. Subhanallah.. Subhanallah.. Alhamdulillah…

Ada teramat banyak karunia Allah dalam kehidupan kita yang mustinya mampu kita syukuri. Tak ada alasan untuk menagis, mengeluh dan bersedih hati. Allah telah menetapkan kadar segala sesuatu. Semua tugas yang menumpuk itu, kerjakan satu persatu, dengan senantiasa memohon dan berserah diri pada Allah. Pertanyaannya kemudian, apakah hubungannya tulisan ini untuk setoran Quantum Keteladanan dan Pencerahan SPN bulan Februari 2017? Saya mampu menulis itu semua karena motivasi yang ditaburkan tiap hari oleh teman-teman SPN. Sebagai anggota SPN yang baru bergabung sejak Desember 2016, ada banyak hal yang belum saya fahami. Yang terjadi, beberapa kali saya salah atau kurang tepat dalam berinteraksi di dalam grup WA SPN.

Menulis, sudah lama saya impikan. Bahkan saat kuliah S1 Sastra Arab UGM sempat jadi panitia Pelatihan Jurnalistik dalam rangkaian kegiatan RDK, Ramadhan di Kampus. Namun entah bagaimana, rasanya saya dilanda ketakutan luar biasa. Saya takut salah, takut membuat orang tak berkenan, takut entah apa lagi. Apalagi di SPN yang saya kenal Cuma Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. penguji tesis saya yang memberikan support agar tesis saya diterbitkan. Impian menulis seakan mendapat angina segar, namun bagaimana caranya… Di grup WA SPN, hanya beberapa kali saja saya komentar, selebihnya banyak sebagai pengamat dan penikmat saja (wei, curang ya…). Hm, mungkin saya tipe orang yang tak mudah percaya. Hayo kenapa? Saya pun tak bisa menjelaskannya.

Hari demi hari berlalu. Tulisan demi tulisan di grup SPN telah saya baca. Komentar pun keluar biasa saja dari para anggota. Bukan tanpa gejolak sih, namun yang lebih pas adalah bahwa SPN adalah –sesuai perkenalannya yang saya baca pertama kali- kumpulan para penulis yang ingin terus menulis dan menulis. Apapun yang dibicarakan, ya menulis.

Komentarnya, ya tentang menulis. Kalau pun ada sedikit ‘perdebatan’, ya soal menulis. Tiap anggota selalu memberi support kepada lainnya untuk mampu menulis, untuk berani menulis. Ini saya rasakan betul. Ketika itu pertama kali setor tulisan. Mana laptop ngadat dan lelet.. Sebagai manusia biasa, rasanya hampir putus asa. Sempat terfikir, “Nyerah saja deh.. ikut bulan depan kan boleh…” Alhamdulillah saya sempat membaca tulisan di WAG SPN sambil menunggu laptop on kembali.

Tulisan-tulisannya saat itu, dan sampai kini, memampukan kita, meyakinkan kita bahwa kita mampu menulis, bukannya memaki dan memarahi karena tulisan kita belum jadi. Duh, legaaa sekali bisa setor tulisan pertama, 31 Desember 2016 jam 23.57 WIB. Haha… 2 menit sebelum deadline! Bahkan setelah tulisan terkirim, laptop off kembali, hingga sekitar 25 hari berikutnya. Ampyuuun…

Ketika saya mencoba memberanikan diri untuk menulis, apapun yang saya fikirkan saat itu, dan saya share di WAG SPN, teman-teman langsung merespon, tanpa menunggu instruksi, karena memang tidak ada hirarki. Padahal anggotanya para Profesor, Doktor, namun tak ada seorang pun beliau yang merasa paling sakti dan paling berkuasa. Jadi, unik SPN itu. The real. Nyata. Apa yang diimpikan itulah yang dilakukan. Sebagai sosok pribadi, mungkin istilah yang tepat adalah pribadi yang satu dalam kata dan perbuatan. Inilah yang menarik bagi saya.

Dari segi sudut pandang, tak ada arogansi laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki dan perempuan dapat berinteraksi secara wajar dengan tetap berada dalam norma agama. Karenanya, saya melihat anggota SPN itu memiliki kepribadian yang istimewa. Ada mas Husnaini, mas Adit, Pak Hernowo, Dr. Viky, Dr. Choirul Mahfudz, Bu Rita, mbak Hiday, Pak Didi, Pak Emcho, Pak Agung Kuswantoro, Pak Ngainun Naim, Kyai Masruri Abd Muhit, Pak Abdul Rasyid, Bu Abdisita, Pak Adzi, Pak Arfan Muammar, Bu Dewi Istika, mas Febry, mbak Helmi Yani, manten anyar Bu Hidayatun, Ir. Zulfa, Pak Makmun, Bu Amie, dan masih banyak lagi yang belum bisa saya hafal.

SPN memberanikan orang untuk menulis, menulis dengan lantang, dengan jiwa lapang, dengan jiwa besar. Semua dalam koridor berfikir positif dan husnudzan. Tak perlu ada yang disembunyikan, karena semua sifatnya transparan. Apa yang diimpikan, digariskan dalam kebijakan organisasi, ya itulah pula yang dilakukan. Wallahu a’lam. Semoga selamanya SPN dapat menjaga garis perjuangannya ini. Menguatkan jiwa dan semangat menulis. Dengan menulis, akan membuka pintu pengembangan ilmu. Secara riil, zaman telah berubah dan itu menuntut kajian ilmu. Dengan kajian, ilmu akan berkembang dan kian kokoh. Dengan kekuatan ilmu, kita bangun Indonesia Berkemajuan. Amin.

Yogyakarta, 19 Februari 2017


dipublish juga di kabarnusa.com dan rumahbacakomunitas.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar