Sabtu, 10 November 2018

Mengenang dan Meneladani Pahlawan



Oleh: Sri Lestari Linawati


Sewaktu SD, SMP dan SMA, sekolah saya selalu mengadakan upacara memperingati Hari Pahlawan. Instruktur Upacara akan menyampaikan refleksi perjuangan pahlawan bangsa. Terakhir, menyanyikan lagu mengheningkan cipta. Upacara itu dilakukan dengan khidmat. Harapannya, agar kami semua para siswanya mampu meneladani semangat juang para pahlawan bangsa.

Di perguruan tinggi, kepahlawanan itu dikaji secara intensif melalui mata kuliah dan berbagai kegiatan kampus. Kegiatan itu sangat beragam, mulai dari kegiatan jurusan, fakultas, universitas, Jamaah Shalahuddin, hingga RDK (Ramadhan Di Kampus) yang kala itu diadakan di Gelanggang. Harapannya, nilai-nilai semangat juang para pahlawan mampu menginternal dalam diri pribadi mahasiswa.

 Di Hari Pahlawan ini, ada dua sosok pahlawan yang menarik untuk dikenang, yaitu Jenderal Besar Soedirman dan Ibu Baroroh Baried. Jenderal Besar Soedirman disebut namanya oleh guide kami, Pak Anwar, saat kunjungan ke Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Kebetulan saat itu saya harus mendampingi mahasiswa Prodi TLM (Teknologi Laboratorium Medis) kunjungan ke kampung Kauman. Adapun Ibu Baroroh Baried adalah tokoh Aisyiyah yang namanya kini diabadikan Aula Hall 4 Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.

Jenderal Soedirman adalah salah seorang Pahlawan Revolusi Nasional Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia merupakan Panglima dan Jenderal RI yang pertama dan termuda, 31 tahun. Soedirman juga dikenal sebagai pejuang yang gigih. Meski menderita penyakit paru-paru parah, ia tetap berjuang dan bergerilya bersama prajuritnya melawan tentara Belanda pada Agresi Militer II.

Soedirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916. Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang pekerja di pabrik gula Kalibagor Banyumas dan ibunya keturunan Wedana Rembang. Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, kemudian melanjutkan ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah Solo. Selama menempuh pendidikan di sana, ia turut serta dalam kegiatan kepanduan Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di HIS Muhammadiyah, mengabdikan dirinya di HIS Muhammadiyah Cilacap, dan pemandu organisasi Hizbul Wathan.

Pak Anwar dengan semangat dan penuh keyakinan menceritakan bagaimana Jenderal Soedirman menunaikan shalat berjamaah di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, dilanjutkan mengatur strategi perjuangan. Terasa berbeda penjelasannya dengan pelajaran yang disampaikan oleh guru sejarah sewaktu SMP dan SMA dulu. Yang menyampaikan saat ini adalah seorang modin, marbout dan sekaligus murid ngaji Langgar KHA Dahlan. Mungkin juga karena saat wawancara tersebut, kami sedang berada di depan masjid Gedhe Kauman. Seakan jiwa kami diajak mengembara ke jaman perjuangan Jenderal Soedirman.

Sosok kedua yang harus dikenang dan diteladani warga Muhammadiyah, khususnya sivitas akademika Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, adalah Siti Baroroh Baried. Ia yang lahir di Yogyakarta pada 23 Mei 1923, menggemparkan dunia pendidikan nasional dengan diangkatnya menjadi Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 27 Oktober 1964.

Sejak muda Baroroh memiliki semboyan ”Hidup saya harus menuntut ilmu”. Semboyan ini diucapkan di hadapan kedua orang tuanya. Tidak mengherankan jika kemudian perjalanan dan kiprahnya dalam pendidikan mengundang decak kagum dan menjadi panutan. Di usia masih sangat muda, 39 tahun, sejarah mencatatnya sebagai guru besar perempuan pertama di Indonesia, sebagaimana ditulis Adaby Darban dalam artikel “Lintasan Sejarah Kauman Jogjakarta” (2015).

Baroroh memulai pendidikan di SD Muhammadiyah, MULO HIK Muhammadiyah, Fakultas Sastra UGM (Sarjana Muda), Fakultas Sastra UI di Jakarta (Sarjana, 1952). Tahun 1953-1955 Baroroh mendalami Bahasa Arab di Cairo, Mesir. Pada saat itu, sangat langka perempuan menempuh pendidikan di luar negeri. Sepulang dari Mesir, pada 1 Juli 1963, Baroroh mendirikan Jurusan Sastra Arab UGM. Beliau menganggap bahwa di UGM perlu didirikan sebuah jurusan yang khusus mempelajari Bahasa dan sastra Arab. Jurusan ini dilahirkan sebagai upaya untuk mengisi kekosongan studi kearaban yang sudah ada lebih ditekankan pada aspek keagamaan. Oleh karena itu, misi utama kelahiran jurusan ini adalah pemahaman masyarakat Indonesia terhadap budaya Arab (Bahasa dan sastranya) khususnya budaya Arab yang telah diresepsi oleh masyarakat Indonesia. Selama sepuluh tahun beliau menjabat Ketua Jurusan Sastra Arab (1963-1973).

Bu Baroroh tidak hanya aktif di dunia perkuliahan. Beliau juga aktif di berbagai organisasi seperti MUI Pusat dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di ’Aisyiyah, Bu Baroroh pernah menjabat sebagai PCA Gondomanan sampai Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Jabatan yang pernah diembannya di ‘Aisyiyah adalah Ketua Biro Hubungan Luar Negeri, Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan, dan Ketua Bagian Paramedis. Beliau menjadi satu-satunya ketua PP ‘Aisyiyah yang paling lama menjabat yakni selama 5 periode dari tahun 1965 sampai 1985. Atas jasanya, ‘Aisyiyah memiliki posisi tawar di luar negeri. Banyak peneliti, penulis disertasi dari universitas luar negeri mempelajari organisasi ‘Aisyiyah melalui jasanya.

Selama dua periode, 1965-1968 dan 1968-1971, ia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra UGM. Ia juga turut mengelola penerbitan Majalah Suara 'Aisyiyah. Banyak karya Siti Baroroh terkait pembelajaran mengenai filologi, ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah; sebut saja Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia (1970), Bahasa Indonesia sebagai Infrastruktur Pembangunan (1980), Panji: Citra Pahlawan Nusantara (1980), Pengantar Teori Filologi (1985), Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia (1985), Kedatangan Islam dan Penyebarannya di Indonesia (1989), dan masih banyak lainnya.

Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber. Penulis beruntung sempat bertemu sosok Baroroh Baried. Dengan penampilan gaya khas perempuan Jawa, beliau ke kampus mengenakan kebaya. Ruang kerja beliau di pojok lantai 2 Fakultas Sastra UGM, memungkinkan saya sering melihat beliau. Membaca dan membaca di ruang kerjanya, usai beliau mengajar. Kelas kami dulu pernah beliau ajar mata kuliah Tarjamah. Disiplin. Tegas. Disiplin mengatur waktu, disiplin belajar, disiplin berorganisasi. Itulah profil karakter pribadi yang saya fahami.

Semoga bermanfaat dan memotivasi kita dalam menunaikan catur dharma perguruan tinggi. Berjuang dan menyandarkan diri pada Allah dan RasulNya adalah jalan utama yang musti kita tempuh.[] Wallahu a’lam.


Yogyakarta, 10 November 2018